Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar

Diperbarui: 26 Februari 2018   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kompas.com

Menjadi Calon Presiden Republik Indonesia itu tidak mudah. Selain harus memenuhi rentetan persyaratan individu, dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, calon presiden pun hanya bisa diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. 

Kesulitan untuk menjadi capres pun bertambah dengan adanya Presidential Threshold (PT) atau ambang batas minimal.

Ambang batas minimal menurut UU Pilpres Pasal 9, pasangan capres-cawapres harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhiperolehankursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI.

Di tengah perdebatan perlu tidaknya revisi PT, nampaknya anggota parlemen, pemerhati politik, dan banyak lainnya hanya terfokus pada besaran angka-angkanya saja. Parlemen berasumsi semakin tinggi PT semakin aman presiden dari gangguan “oposisi Senayan”. 

Selain itu, parlemen hanya memikirkan berapa banyak pasangan capres-cawapres dalam pilpres. Senayan mengabaikan dampak negatif dari PT yang berpotensi mengganggu kinerja presiden terpilih. Mereka tidak bercermin dari pengalaman pilpres 2009 di mana para calon wajib mencari dukungan parpol untuk memenuhi PT.

Dukungan parpol kepada pasangan calon tersebut tentu saja tidak gratis. Parpol pendukung meminta kompensasi sebesar-besarnya atas dukungannya. Sementara, misalnya, jumlah kursi menteri dan pos-pos strategis pemerintahan serta BUMN jumlahnya terbatas. 

Akibatnya, belum juga menyerahkan formulir pendaftaran ke KPU, capres dan cawapres sudah terjerat tarik menarik kepentingan politik-ekonomi dengan partai-partai yang berkenan membubuhkan tanda tangan pengusulannya.

Dengan terjadinya kompromi tersebut sesungguhnya presiden sudah mengebiri hak-hak prerogatifnya sendiri jauh hari sebelum ia mengikrarkan sumpah dan janji jabatannya. 

Dalam perekrutan menteri, misalnya, presiden tidak bisa lagi sepenuhnya menggunakan hak yang diberikan konstitusi, karena harus menimbang “pasal-pasal perjanjian pranikah” dengan parpol-parpol pendukungnya. Akibatnya, faktor profesionalisme tergeser oleh kepentingan politik pragmatis.

Tarik-menarik kepentingan antara presiden dengan parpol-parpol pendukungnya tampak sekali pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam menentukan susunan kabinetnya, misalkan, SBY tersandera dengan harus menentukan pembantunya berdasarkan komposisi jatah kursi bagi parpol pendukung yang sudah disepakati sebelumnya. 

Tidak hanya itu, SBY pun terkesan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas pembantu-pembantunya. Hal ini dibuktikan dengan lebih intensnya komunikasi Menteri Pertanian Suswono dengan presiden partainya ketimbang dengan menteri-menteri di bawah koordinasi Menko Perekonomian Hatta Rajasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline