Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Revisi UU ITE: Pasal Penyelamat "Papa Minta Saham" Juga Harus Dioprek

Diperbarui: 19 Februari 2021   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi corporatecomplianceinsights.com

UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sebenarnya sudah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Sorotan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 ini memuncak setelah pada 16 Februari 2021 lalu Presiden Joko Widodo mengunggah utas lewat akun Twitter pribadinya @jokowi.

Sontak, seperti kejatuhan durian, publik langsung mengusulkan revisi pada Pasal 27 sampai Pasal 29 UU ITE. Bahkan, saking dianggap sebagai pasal karet dan terdapat duplikasi hukum, ketiga pasal tersebut diusulkan untuk dihapus.

Jika dicermati, sebenarnya ada sebuah rangkaian peristiwa menarik yang bisa disebut melatarbelakangi usul perevisian UU ITE. Pertama, rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021 yang menyebut indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Kedua, permintaan Jokowi kepada masyarakat untuk lebih aktif mengkritik pemerintah.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, pada 8 Februari 2021 sebagaimana yang dikutip Kompas.com.

.Sebenarnya, undang-undang yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 April 2008 ini pernah direvisi Jokowi pada 2016. Namun, seperti yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, UU ITE berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara oleh warga negara lainnya atau kelompok.

Rekaman "Papa Minta Saham"

Masih ingat kasus perekaman yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin saat ia bertemu dengan Setnov dan Muhammad Riza Chalid di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015?


"Rekaman yang dimiliki oleh saudara Maroef Sjamsoeddin diperoleh secara melawan hukum, tanpa hak, tanpa izin, serta bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, tidak boleh digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan etik yang mulia ini sebab alat bukti perekaman tersebut adalah ilegal."

"Bahwa saudara Maroef Sjamsoeddin adalah pegawai swasta perusahaan asing di Indonesia (PT Freeport Indonesia), bukan penegak hukum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk merekam/menyadap pembicaraan pejabat negara atau warga negara Indonesia atau siapa pun di bumi Indonesia.”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline