Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Ini Alasan Banyak Pria Kesal kepada Habibie

Diperbarui: 13 September 2019   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanung Bramantyo, BJ Habibie dan Reza Rahadian saat ditemui usai nonton bareng film Rudy Habibie di XXI Epicentrum, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Sabtu (25/6/2016).(KOMPAS.com/Dian Reinis Kumampung)

 Dari pesawat televisi terlihat wajah-wajah tegang penonton yang memenuhi Stadion Stade De France, Perancis. Tak terdengar lagi gemuruh sorak-sorai yang sebelumnya melatarbelakangi suasana pertandingan perempat final Piala Dunia 1998 antara tim tuan rumah Perancis melawan Italia.

Pada saat itu, seluruh pasang mata mengarah pada satu sosok yang berdiri di tengah kotak pinalti dengan kepala tertunduk.

Ketika kamera mengarah ke wajahnya, nampak jelas ketegangan pada wajahnya. Matanya memejam. Sementara, rahangnya yang terkatup rapat nampak bergetar.

Dialah Roberto Baggio. Bintang tim nasional Italia empat tahun sebelumnya gagal mengeksekusi tendangan pinalti ke gawang Brasil. Kegagalan yang bukan saja membuat timnya harus melepas mimpimya menjuarai Piala Dunia 1994, tetapi juga membuat dirinya menjadi pesakitan selama empat tahun.

Ketegangan semakin memuncak saat Baggio mulai bergerak mundur, mengambil ancang-ancang. Sesaat kemudian, Baggio melesat cepat. Lantas menyepakkan kakinya ke bola yang berada tepat di titik putih.

Si kulit putih melesat kencang, mengarah tepat ke mulut gawang. Sepersekian detik kemudian, jala gawang Perancis bergetar diterjang bola.

Sontak penonton bersorak. Bukan hanya pendukung Italia, tetapi juga pendukung Perancis. Stade de France seolah bergetar. Begitu juga dengan ruang lobi hotel yang berlokasi di kawasan Gejayan, Yogyakarta, tempat digelarnya acara nonton bareng.

Pada hari itu, 3 Juli 1998, satu gol dari Baggio membuat dunia bersorak, sekalipun terpaut puluhan ribu kilometer dari Stade de France.

Suasana serupa pun terjadi pada 10 Agustus 1995, ketika itu TVRI tengah menayangkan langsung peluncuran pesawat CN 250 Gatot Kaca.

Saat itu saya berada di Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di ruang tunggu gurah, semua pasang mata mengarah pada pesawat televisi berukuran 14 inchi.

Pada saat rancangan Baharudin Jusuf Habibie itu mulai melaju di landas pacu Bandara Husein Sastranegara, Bandung, kami semua berdiri. Wajah-wajah kami menegang menunggu satu momen yang tak mungkin lagi terulang dalam sejarah. Satu momen yang membuat tak seorang pun dari kami melepaskan tatapannya dari layar kaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline