Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Dulu Ahok Berhasil Menunjukkan Kecerdasannya, Tapi Sekarang...

Diperbarui: 31 Agustus 2016   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernah ditayangkan di Kompasiana artikel berjudul “Ahok dan Misteri Kudeta 6/3/16”. Isinya tentang adanya kejanggalan saat Ahok memutuskan maju lewat jalur independen. Dari kejanggalan itu timbul kecurigaan kalau keputusan Ahok itu hanya permainan saja. Akhirnya terbukti, Ahok tidak maju lewat jalur perorangan, tapi jalur parpol.

Sekalipun diduga rencana jalur independen itu hanya sandiwara, tetapi strategi Ahok ini patut diacungi jempol. Sebab dengan alasan mengumpulkan KTP untuk pencalonannha, Ahok dapat mencuri start kampanye tanpa perlu takut disemprit oleh Panwaslu. Strategi Ahok ini bisa diikuti oleh calom kepala daerah lainnya pada masa pilkada mendatang.

Jadi, kalau sekarang masih ada sejumlah pihak yang meributkan soal konsistensi Ahok, mungkin mereka kurang “piknik”. Sama saja dengan sejumlah netizen yang menyebut Yusril sebagai jongos parpol. Bisa jadi mereka melakukannya karena kenaifan. Padahal ketika media sedang ramai-ramainya memberitakan soal pencaguban Yusril, di Kompasiana sudah ada artikel yang mengatakan Yusril tidak mungkin nyagub. Dan terbukti, Yusril tidak akan nyagub.

Sekarang pertanyaannya, kalau dulu Ahok begitu mudah dan cepat memutuskan Heru Budi sebagai wakilnya, kenapa sekarang Ahok belum juga memutuskan bakal pendampingnya?

Jawaban pertama karena Ahok masih menginginkan Djarot sebagai calon wakilnya. Dengan bergabungnya Djarot, Ahok akan mendapatkan PDIP. Kalau pun PDIP maju dengan calonnya sendiri, setidaknya Ahok telah menguasao separuh dari mesin politik PDIP.

Kalau berhasil mendapat dukungan penuh dari PDIP, itu artinya ia telah menutup jalan untuk majunya Risma, calon pesaing terkuatnya. Dan sudah pasti, masuknya PDIP akan menjauhkan Ahok dari kemungkinan gagal nyalon. Jadi kerelaan Ahok untuk menunggu keputusan PDIP ini tidak lain dan tidak bukan demi kemenangan Ahok sendiri.

Jawaban kedua, terjadi tarik menarik yang kuat antara Ahok, Nasdem, Hanura, dan Golkar. Keempatnya mempunyak kekuatan tawar yang sama. Sebab kalau salah satu saja dari keempatnya menarik diri, maka koalisi “Ahok” bubar jalan. 

Benar, ketiga parpol itu sudah membangun kesepakatan dengan Ahok. Tetapi, setiap kesepakatan pastinya memuat pasal-pasal yang memungkinkan terjadinya pembatalan. Karena sangat tidak masuk akal kalau ketiga parpol itu menyodorkan cek kosong kepada Ahok. Istilah lawasnya tidak ada makan siang yang gratis. Buktinya koalisi ini sempat memanas dan saling ancam ketika Golkar mendesakkan pertanyaannya tentang cawagub.

Sayangnya, kali ini kecerdasan Ahok mendapat tantangan berat. Ungkapan-ungkapan Ahok kalau dirinya dekat dengan Mega dan Jokowi belum juga membuahkan dukungan PDIP kepadanya. Alih-alih memberikan dukungan, PDIP malah mengolok-olok Ahok dengan merilis simulasinya. Dalam simulasi itu, Ahok hanya menempati posisi cawagub. Tidak berhenti sampai Simulasi, PDIP pun mengejutkan publik dengan berhasil mengundang Ridwan Kamil dalam acaranya.

Emil memang belum tentu akan dicalonkan PDIP. Tetapi peluang Emil lebih besar ketimbang Risma. Pertama, tingkat resistensj warga Bandung jika Emil ditarik ke DKI lebih kecil ketimbang penolakan warga Surabaya kalau Risma didorong nyagub di DKI. Kedua, masa tugas Emil aksn berakhir pada 2018. Sementara, Risms baru setahun memulai periode keduanya sebagai Walikota Surabaya.

Emil bukan kader parpol manapun. Ia tidak ada bedanya dengan Ahok. Jadi, ketimbang mencalonkan Ahok, pastinya PDIP lebih memilih Emil. Tinggal apakah Emil disodorkan kursi DKI 1 atau DKI 2. Apapun itu pastinya PDIP akan menyandingkan Emil dengan kadernya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline