Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Ini Alasan Tepat Kenapa TNI Harus Dilibatkan Dalam Penanganan Terorisme

Diperbarui: 27 Juli 2016   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini terjadi kontroversi soal penanganan terorisme di Indonesia. Gegaranya, dalam Pasal 438 Draf Revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Banyak yang khawatir keterlibatan TNI akan menmbulkan pelanggaran HAM.

Sebenarnya, kalau kekhawatiran tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak keterlibatan TNI. Pertama, hal itu baru berupa kekhawatiran yang pastinya belum tentu terjadi. Kedua, prajurit TNI sudah dibekali dengan pengetahuan tentang HAM yag memadai.

Demikian juga dengan alasan Menko Polhukam Luhut Panjaitan yang mengatakan keterlibatan TNI sudah keharusan karena ancaman terorisme sudah meluas dan ganas. Alasan Luhut pun tidak tepat. Karena, bukan di situ dasar keterlibatan TNI dalam menangani ancaman terorisme. Sebab seganas apapun aksi terorisme kalau itu masih dikelompokkan ke dalah tindak kriminal maka TNI tidak bisa diikutsertakan.

Pertama, bangsa ini harus terlebih dahulu menentukan, apakah terorisme masih menjadi salah satu extraordinary crime atau tidak. Kalau masih, maka tentu saja penanganannya harus melalui mekanisme hukum. Menurut hukum TNI tidak bukanlah institusi penegak hukum. Dengan demikian, maka TNI tidak bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme.

Tetapi, harus pula disadari kalau terorisme bukan sekedar extraordinary crime biasa seperti korupsi atau narkoba. Sebab ditinjau dari sudut pandang pertahanan nasional, ancaman terorisme lebih ganas ketimbang korupsi dan narkoba.

Terorisme merupakan ancaman global. Pelakunya adalah kelompok terorganisir yang memiliki jaringan di berbagai negara. Teroris bukan hanya sekedar meledakkan bom, menembak orang tidak bersalah, atau bentuk-bentuk serangan lainnya. Mereka melakukan aksinya pun bukan sekedar bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Aksi-aksi terorisme tersebut ditujukan untuk menghancurkan negara sebagai jalan untuk terbentuknya negara baru.

Artinya, aksi terorisme bertujuan menghancurkan NKRI dengan segala yang melekat di dalamnya untuk kemudian digantkan dengan negara Islam yang mereka sebut sebagai kekhalifahan Islam. Sederhananya, terorisme merupakan ancaman dri luar. Pertanyaannya, menurut konstitusi, siapa yang wajib membela negara dari ancaman yang berasal dari luar? Jawabannya, semua warga negara Indonesia, termasuk TNI.

Pelaku terorisme beserta para pendukungnya saat ini sudah tanpa rasa takut lagi mengobarkan sikap perlawanan terhadap negara, bukan hanya pemerintah. NKRI dianggap sebagai negara thagut yang layak dibumihanguskan. NKRI menjadi barang haram. Seruan-seruan mereka ini dikumandangkan lewat sejumlah forum dan dunia maya. Demikian juga dengan perlawanan bersenjata yang sudah mereka teriakan.

Persenjataan TNI pastinya hanya akan digunakan saat aksi penyergapan atau “dor-doran saja”. Jadi, peluru-peluru yang dibeli dari pajak rakyat itu tidak akan digunakan serampangan. Maka, pelor-pelor itu tidak disasarkan kepada rakyat, tetapi kepada pelaku teror yang ditembaki pun merupakan anggota jaringan dari kelompok asing yang beroperasi di dalam negeri.

Katanya, kalau TNI dilibatkan maka jumlah pelaku teror akan lebih banyak lagi yang ditembak mati..Ini baru kecurigaan. Kalaupun kecurigaan itu nantinya terbukti, toh hal itu tidak menyalahi undang-undang di negeri ini. Prajurit TNI juga manusia, sama seperti anggota Polri dan manusia lainnya. Semuanya berprinsip ketimbang mati, lebih baik membunuh lebih dulu lawannya. Prinsip itu sangat manusiawi. Karenanya prinsip “kill or to be killed” sama sekali tidak melanggar kodrat sebagai manusia..

Maka, adalah sangat lucu ketika Hidayat Nurwahid mengusulkan kepada Densus 88 untuk mengganti peluru tajamnya dengan peluru bius. Teroris menggunakan senjata dengan puluhan peluru tajam dalam magazinnya. Dalam satu tarikan picu sejumlah peluru bisa ditembakkan. Sebab, belum ada magazin untuk peluru bius, Jadi, sekali tembak, senjata harus kembali diisi peluru. Jadi, dari mengisi peluru, mengokang, sampai menembak diperlukan waktu lebih dari 5 detik. Selain itu jarak tembak efekif peluru bius pun sangat terbatas. Dan, lagi reaksi bius tidak seperti di film-film Hollywood yang begitu kena langsung kluyungan. Bius membutuhkan waktu beberapa menit sampai sasarannya tidak sadarkan diri. Jadi, kalau usul Hidayat ini disetujui, satu kompi Densus 88 akan dihabisi hanya oleh satu teroris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline