Stadion Stade de France sore hari 3 Juli 1998. Dari tengah lapangan Roberto Baggio melangkah menuju kotak penalti. Kepala penyerang tim nasional Italia itu menunduk. Entah doa apa yang dipanjatkan oleh penganut Budha itu.
Begitu sampai di titik penalti, Baggio berdiam sejenak. Kemudian ia membungkuk. Kesepuluh jemarinya menyentuh bola. Cukup lama ia melakukannya. Beberapa saat kemudian Baggio yang kala itu tenar sebagai mega bintang Klub Italia Juventus itu menegakkan punggungnya.
Dengan tatapan tertuju pada bola, perlahan ia melangkah mundur. Lalu berhenti beberapa meter dari titik penalti.
Beberapa kamera yang dipasang di sejumlah titik stadion mengarah kepada Baggio. Saat kamera yang berada di belakang gawang, meng-close up wajahnya, terlihat kedua mata Baggio terpejam. Gerahamnya mengatup. Terlihat juga dada pemain veteran kesebelasan Italia itu mengembang lebar untuk kemudian kembali mengempis. Tim cameraman seolah tidak mau melewatkan setiap detik dari momen tersebut.
Delapan puluh ribu penonton yang memenuhi kursi stadion mendadak terdiam. Suara gaduh sorak-sorai yang sebelumnya menggemuruhi seantero stadion mendadak lenyap bagai tersapu oleh angin musim panas. Demikian juga dengan jutaan pasang mata pemirsa televisi di berbagai belahan dunia. Semua terhisap ke satu titik: Roberto Baggio.
Tendangan penalti yang saat itu ditugaskan kepada Baggio membawa ingatan masyarakat sepak bola kembali ke masa empat tahun sebelumnya atau tepatnya 17 Juli 1994. Ketika itu Italia beradu nasib melawan Brasil di ajang final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Baggio yang kala itu tengah berada di puncak masa keemasan karirnya dipilih oleh pelatih Arrigo Sacchi untuk sebagai algojo terakhir.
Sebagaimana eksekusi-eksekusi pinalti lainnya, awalnya tidak ada yang berbeda dengan tendangan 12 pas yang dilakukan oleh Baggio. Baggio yang kala itu telah melokoni puluhan tendangan pinalti tenang melangkah ke titik putih yang ada di depan gawang. Di hadapannya, Claudio Taffarel bersiap-siap mematahkan sepakannya.
Selama beberapa detik kamera menyorotnya dari belakang. Meng-close up rambut kuncir kuda yang menjadi ciri khasnya. Sorak-sorai penonton di stadion Rose Bowl, Pasadena, California, membahana mengiringi setiap langkah bintang tim Gli Azzura berusia 27 tahun itu..
Sang Maestro bersiap-siap menutaskan kewajibannya. Ia menjadi penendang terakhir bagi timnya. Sementara lawannya masih menyisakan satu penembak lagi.
Saat itu kedudukan 3-2 untuk Brasil. Setelah sebelumnya dua penembak Italia, Franco Baresi dan Daniele Massaro gagal mencetak angka.
Detak jantung Italia kini tergantung pada kedua kakinya. Beberapa langkah dari garis gawang Baggio mengambil ancang-ancang. Tambahan satu gol lagi untuk Italia. Begitu yang diperkirakan.
Peluit ditiup wasit. Sesaat kemudian Baggio mulai bergerak. Penyerang bernomor punggung 10 itu berlari ke arah bola. Kakinya melayang menyepak si kulit bundar. Bola meluncur deras. Namun, bukan ke arah gawang yang dibidiknya, melainkan melambung jauh di atas mistar gawang.
Gol tidak terjadi dari kaki Baggio. Alam semesta seolah terbalik. Dunia dibuat tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja lewat. Mulut-mulut penonton menjubeli stadion mengangga. Detak jantung Italia mendadak berhenti.