Beritanya, Komisi II DPR RI berencana memperberat syarat untuk calon independen pada Pilkada 2017 mendatang. Alasannya, karena syarat dukungan untuk calon dari parpol naik 5 persen menjadi 20 persen dari jumlah suara, maka syarat untuk calon independen juga harus dinaikkan. Sederhananya, DPR ini ada perlakuan adil antara calon dari parpol dan calon independen.
Kalau keadilan ala DPR ini jadi ditetapkan, calon independen harus mengumpulkan KTP sebanyak 10-15 % dari DPT. Malah ada yang mengusulkan 15-20 % dari DPT. Jadi naik dari 6,5-10 % sebagaimana keputusan MK.
Sebelum melepas wacana, DPR seharusnya melihat sejumlah fakta.
Pertama pengumpulan KTP itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam Pilkada 2015 lalu, misalnya, dari 254 pasangan calon independen yang mendaftar ke KPU, 80 pasangan calon dinyatakan gagal saat verifikasi batas jumlah dukungan. Jadi, ada sekitar 31 %-nya.
Jangankan untuk memenuhi persyaratan jumlah KTP lengkap dengan formulir dukungannya, hanya untuk memenuhi syarat jumlah minimal KTP saja sudah sulit. Lihat saja pada Pilgub DKI 2012 lalu. Waktu itu Faisal Basri dan pasangannya menyerahkan 422.938 KTP ke KPU. Dari jumlah yang disetorkan itu, hanya 216.584 KTP yang memenuhi syarat, atau hanya 51,21 %-nya saja. Sementara dari 579.719 KTP yang disetorkan Hendardji Supandji dan pasangannya yang memenuhi syarat hanya 392.501 atau 65.67 %.
Dan, sekarang DPR mau menaikkan jumlah dukungan KTP yang tentu saja wajib dilengkapi dengan formulir dukungan yang sudah terisi nama cagub dan cawagub.
Kalau dipikir, dengan ditambahkannya persyaratan formulir dukungan saja calon independen sudah demikian sulit. Dan, bisa dibilang tidak membumi. Bayangkan, jagoan yang diusung parpol bisa ditetapkan jelang menit-menit batas terakhir waktu pendaftaran. Sementara pasangan independen harus sudah menetapkan diri sebagai pasangan jauh hari sebelumnya. Masalahnya, mencari pasangan itu bukan urusan gampang.
Dunia perpolitikan di Indonesia itu sangat cair. Tahun 2004 capres SBY maju dengan JK sebagai wakilnya. Lima tahun kemudian pada saat Pilpres 2009, SBY menjadi capres petahana dengan menggaet Boediono. Sementara JK maju sebagai capres yang berpasangan dengan Wiranto. Itu di tingkat nasional. Di tingkat daerah pun setali tiga uang. Tokoh parpol yang awalnya digadang-gadang parpolnya untuk maju, di hari-hari jelang batas akhir pendaftaran mendadak parpol bersangkutan mencalonkan kader partai lainnya.
Kalau parpol mau diperlakukan adil, caranya bukan dengan memperberat persyaratan calon independen. Tetapi, dengan memperingan persyaratan parpol. Bukankah ini lebih bagus bagi parpol sendiri karena bisa menampilkan lebih banyak pasangan calon pada pilkada. Dan, dengan meringankan persyaratan parpol, Partai Demokrak akan lebih mudah mencalonkah Ani Yudhoyono sebelum pada 2019 nanti mencapreskannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H