Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Kompasiana Bikin Duit dan Dompet Saya Jadi Lengket

Diperbarui: 15 September 2015   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum ketagihan menulis di Kompasiana, saya mengalami ketagihan yang bikin kepala pusing. Apalagi kalau bukan ditagih kawin sama janda seksi montok dari kampung sebelah. Ternyata, ditagih kawin itu lebih merontokkan  jantung ketimbang digebrak-gebrak debt collector berwajah angker. Untung saja tagihan kawin itu tidak dilampiri test pack hasil uji kehamilan.

Waktu itu, sekitar tahun 2011, hidup saya sedang morat-marit tidak menentu. Nah, kalau hidup sendiri saja tidak menentu, bagaimana mau jadi mantu. Di tahun itu hampir setiap malam saya keluyuran. Jalan-jalan kemana saja mata ini melihat. Setiap keluar malam sedikitnya tiga lembar uang puluhan ribu rupiah keluar dari dompet. Duit segitu untuk ngopi, ngerokok, jajan, parkir, dan lainnya. Kadang lebih dari seratus ribu yang saya keluarkan untuk sekali keluyuran malam.

Untungnya, saya ini bukan penjudi, bukan pemabok, bukan pemadat, apalagi tukang main perempuan. Asal tahu saja, kalau urusan perempuan, bukan saya yang mengeluarkan duit. Tapi sebaliknya, sayalah yang dibayari. Biar begitu, bukan berarti saya ini lelaki bayaran. Bukan! Saya bukan gigolo. Saya juga bukan Casanova. Saya mah lelaki baik-baik yang suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Saya cuma lelaki biasa yang sedang bete tingkat dewa sembilan belas.

Kalau betenya sudah menggerung-gerung di ubun-ubun, saya langsung ngeloyor ke luar kota. Supaya ngirit ongkos, perginya pakai motor. Saya bawa motor sesukanya. tidak tentu arah, apalagi tujuan. Anehnya, saya tidak merasa seperti Bang Haji Rhoma yang sedang berkelana.

Kalau dalam perjalanan menemui pemandangan yang bikin mata adem,  biasanya saya langsung mencari warung untuk menitipkan motor. Dari situ saya jalan kaki. Pas jalan kaki itu seringkali saya mendapati tempat yang cozy, entah itu sawah, entah itu bendungan, entah itu kebun, kali, atau apa saja. Di tempat itulah biasanya saya nongkrong berlama-lama.

Sebenarnya, waktu itu saya sedang bokek sebokek-bokeknya. Bukan cuma bokek, otak ini juga tidak jelas sedang mikiri apa. Saban waktu bawaannya kemrungsung terus. Memang lucu kalau diingat, lagi cekak malah tambah boros tidak karuan. Sampai kemudian saya termehek-mehek mendapati deretan angka pada struk ATM. “Gila, tinggal segini!”

Biarpun tahu cadangan “devisa” makin menipis, tapi belum juga merasa krisis. Tetap saja saya keluyuran. Jam terbang keluyuran sedikit berkurang begitu ramai berita soal Pilgub DKI 2012 saya jadi lebih sering mengakses internet lalu membuka Kompasiana. Di Kompasiana, awalnya hanya nulis di kotak komentar saja. Waktu itu saya sering komentar di lapak lapak milik Ninoy dan Daniel. Dari yang awalnya cuma komentar, akhirnya saya kegatelan juga untuk ikut menulis.

Sampailah pada dini hari 30 Januari 2013, waktu itu saya sedang di atas kereta api menuju Jakarta. Pas iseng akses berita di internet, saya mendapati breaking news tentang penggerebegan Ahmad Fathonah bersama PSK yang dibookingnya di Hotel Le Meridien, Jakarta. Saya pun klik sana klik sini mencari tahu siapa Fathanah ini. Sayangnya, kereta yang saya tumpangi tidak ada colokan listrik buat ngecas HP. Maklum, kereta kelas ekonomi yang harga tiketnya 40 –an ribu. Jadi, begitu baterai habis, saya tidak bisa akses internet lagi. Begitu sampai di Bandara Soeta dan ketemu tempat ngecas HP, langsung saja saya ngubek-ubek informasi soal Fathanah. Dari Google saya dapati kalau Fathanah ini punya kaitan dengan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). “Eng ing eng!” Lantas, pada malam harinya saya lihat ada berita yang judulnya, ”Presiden PKS Dijemput Penyidik KPK di Kantor PKS”.

Awal Februari, sepulang dari keluyuran, saya buka laptop, lalu akses sana akses sini. Apalagi yang saya cari kalau bukan bukan kasus suap kuota impor daging sapi yang menjerat Presiden PKS. Gara-gara kasus ini Kompasiana jadi ramai dikerubuti netizen. Lebih lagi setelah pasukan khusus sosmed menyerbu masuk blog keroyokan ini. Tulisan dan komentar di Kompasiana jadi ramai, persis permen Nano Nano. Inilah awal yang membuat saya lebih betah di rumah ketimbang keluyuran malam.

Gara-gara kasus itu juga, saya yang dulunya malas nulis jadi gatal ingin nulis. Dulu, dalam rentang waktu waktu enam bulan saja belum tentu ada tulisan yang saya layangkan ke Kompasiana. Tapi, setelah kasus itu, dalam satu minggu saya bisa setor satu tulisan. Dan, entah bagaimana, lama-lama hampir tiap hari ada saja tulisan yang saya tayangkan. Malah tidak jarang satu hari posting dua tulisan.

Anehnya, sampai sekarang saya masih sering heran, “Kok bisa juga ya saya nulis.” Dulu, boro-boro menulis satu artikel sehari. Untuk mengerjakan paper tugas kuliah saja saya menyelesaikannya dengan cara membelinya di Shopping (tempat penjualan buku murah di sebelah timur Pasar Bringharjo, Yogyakarta, atau sebelah selatan Sarkem).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline