Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Prof. Winters Benar, Jokowi Memang Presiden Terlemah

Diperbarui: 25 Juli 2015   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jeffrey Winters benar, Jokowi memang presiden terlemah sepanjang sejarah Indonesia. Malah, hal itu sudah terbaca sebelum pencapresannya oleh PDIP. Ketika itu PDIP terlihat gamang dalam mencalonkan Jokowi. Bahkan terkesan kalau PDIP masih akan kembali mencalonkan Megawati sebagai capres.

Di sisi lain, dukungan publik berkata lain, nama Jokowi selalu memuncaki tingkat elektabilitas berbagai hasil survei. Tingkat elektabilitas Jokowi yang tinggi tersebut tentu saja menjadi incaran parpol-parpol lain untuk menggandengkan Jokowi dengan kadernya. Sebut saja Amien Rais yang membujuk Jokowi untuk mau menggandeng Hatta Rajasa sebagai cawapres. Tentu saja pendekatan Amien tersebut disertai puji-pujian terhadap Jokowi.

Memasuki masa pilpres, perolehan suara parpol-parpol pendukung Jokowi-JK berada di bawah gabungan parpol pendukung Prabowo-Hatta. Hal ini berbeda jauh dengan dukungan terhadap SBY ketika Pilpres 2004 dan 2009. SBY ketika itu berhasil menggalang kekuatan yang kemudian mendominasi peta politik tanah air. .Demikian juga dengan media, khususnya stasiun televisi, yang menjadi corong kampanyenya. Relawan pun demikian. Dibanding pesaingnya, relawan Jokowi banyak yang baru didirikan menjelang pilpres, sedang Prabowo didukung relawan yang berasal dari ormas-ormas yang telah mengakar di banyak daerah. Hasilnya, kemenangan Jokowi dalam pilpres tidak terlalu signifikan sebagai mana yang didapat SBY dalam kedua pemilu yang dimenangkannya,

Tidak sebagaimana presiden-presiden RI sebelumnya, Jokowi tidak sempat mengecap masa bulan madunya. Di awal-awal masa pemerintahannya, koalisi pendukung Jokowi harus berhadapan dengan pendukung Prabowo yang menguasai mayoritas parlemen. Sementara SBY baru mendapat gangguan dari parlemen setelah periode kedua pemerintahannya.  

Belum lepas dari perseteruan antar pendukung di parlemen, Jokowi membuat guncangan dengan mengurangi subsidi BBM hanya sebulan setelah pelantikannya. Sungguh waktu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Atas kebijakannya ini tingkat kepuasan publik pun menurun drastis. Dari 52,15 % lebih menjadi hanya sekitar 40 % saja. Akibatnya, Jokowi yang tidak memiliki kontrol terhadap PDIP, apalagi koalisinya, menjadi bulan-bulanan. Atas kebijakannya itu tidak sedikit pendukung Jokowi yang loncat pagar, seperti Efendi Simbolon, Rieke Dyah Pitaloka, dan lainnya. Kekuatan Jokowi pun semakin menurun.

Dibandingkan dengan Gus Dur, Megawati, apalagi SBY yang miliki kontrol terhadap partainya, Jokowi bisa dikatakan sama sekali tidak memilikinya. Tidak mengherankan bila pada 2014 lalu, LSI menyebut Jokowi sebagai capres wacana bukan the real capres.

Jadi lengkap sudah tiga faktor yang membuat Jokowi menjadi presiden terlemah sepanjang sejarah. Pertama, kemenangan Jokowi yang tidak signifikan. Kedua dominannya kursi parlemen yang diduduki oposisi. Tidak dimilikinya kontrol terhadap partai asal. Jika dibandingkan dengan SBY, situasi yang dihadapi oleh Jokowi ini bagaikan langit dan bumi.

Profesor Jeffrey Winters seperti dikutip Wall Street Journal mengatakan. "Jokowi presiden terlemah sejak masa Gus Dur. Dia ditinju oleh tokoh-tokoh politik yang tidak peduli dia jatuh."

Profesor asal AS itu tidak salah, Jokowi memang tidak peduli kalau ia harus berhadapan dengan pemakzulan. Hal itu terlihat ketika Jokowi tidak terpengaruh oleh ocehan anggota parleman yang beberapa kali mengancam akan memakzulkannya. Hal ini terlihat ketika Jokowi tetap dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM-nya. Jokowi seolah tidak peduli dengan ancaman pemecatan dari anggota DPR, teriakan penolakan para demonstran, dan bisingnya sosial media.

Tapi, Profesor Winters mungkin lupa, bila suara penolakan atas kebijakan subsidi BBM itu hanya nyaring sampai 3 hari. Setelah itu suara penolakan meredup dan lama-lama hilang dengan sendirinya. Demikian pula dengan konflik KPK-Polri, dengan lihay Jokowi mengambil keputusan yang win-win solution. Mengajukan Badrodin Haiti sabagai Kapolri, sedang Budi Gunawan diputar dengan mendudukkannya sebagai Wakapolri. Hal serupa pun dilakukan Jokowi pada konflik di Tolikara. Dengan sigap pemerintah pusat dan daerah membendung konflik ini agar tidak meruncing dan menyebar ke daerah lain.

Banyak pemerhati politik yang kerap kali mengingatkan Jokowi untuk menggunakan hak prerogatifnya selaku presiden dalam setiap memutuskan kebijakannya. Sayang sekali para pemerhati politik ini sepertinya lupa bila hak prerogatif tidak mutlak dimiliki oleh presiden. Hak prerogatif hanya mutlak dalam teori-teori yang dipelajari para pemerhati politik di kampus-kampusnya. Pada kenyataannya hak prerogatif sudah terbagi. Jangankan Jokowi yang tidak memiliki kontrol terhadap partai dan koalisi pendukungnya di parlemen, SBY yang memiliki kekuatan full atas Partai Demokrat dan koalisi di parlemen saja harus berbagai hak prerogatif itu kepada para pendukungnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline