[caption id="attachment_308949" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/Kristanto Purnomo)"][/caption] Pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra kembali mengajukan permohonan uji materi. Kali ini yang diujinya adalah Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 14 ayat 2 menyebut masa pendaftaran capres-cawapres paling lama tujuh hari setelah penetapan secara nasional pemilu DPR. Sedang Pasal 112 mengatur pelaksaan pilpres yaitu paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil Pileg. Menurut pakar hukum tata negara ini kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal Pasal 6A ayat 2 yang berbunyi "Pasangan Capres dan Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu". Tidak hanya itu, jika mengacu pada Pasal 22E UUD 1945, Yusril berkeyakinan Pileg dan Pilpres semestinya digelar serentak atau hanya sekali dalam lima tahun. Jika MK memaknai "pemilu" dalam anak kalimat "sebelum pelaksanaan pemilu" pada Pasal Pasal 6A ayat 2 itu sebagai pemilu legislatif dan pemilu presiden, maka permohonan Yusril ini akan dikabulkan. Dikabulkannya uji materi ini tentu akan berdampak luas terhadap iklim perpolitikan nasional. Ada plus-minus jika MK mengabulkan permohonan Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini. Adapun dampak positifnya adalah sebagai berikut, pertama, secara otomatispresidential threshold tidak lagi diberlakukan. Dengan tidak adanya lagi ambang batas sebagai syarat maka semua parpol atau gabungan parpol berhak mengajukan capres potensialnya tanpa tergantung pada perolehan suara pileg. Jumlah pasangan capres-cawapres pun bisa sebanyak jumlah parpol yang berkompetisi. Hasilnya, pemilih memilki lebih banyak pilihan pasangan capres-cawapres dibanding bilapresidential threshold masih diberlakukan Kedua, jika pendaftaran capres-cawapres dilakukan sebelum pileg maka parpol harus memiliki jago dari internalnya. Karena tidak mungkin lagi menggantungkan diri pada figur dari parpol lain. Mengajukan jago dari partai lain atau merekrut dari eksternal partai tentu buruk bagi citra partai. Karenanya parpol dituntut dapat mengembangkan sistem kaderisasinya. Jika pun ada persilangan, di mana capres dari parpol A dan cawapres dari parpol B, maka posisi parpol B sangat tidak menuntungkan bagi caleg-calegnya. Ketiga, karena untuk pencapresan tidak lagi membutuhkan dukungan parpol lain maka politik dagang sapi bisa diminimalisasi. Akibatnya, presiden terpilih tidak lagi tersandera oleh kontrak-kontrak politik dengan parpol lain. Sekalipun ada kontrak politik, pastinya dilakukan setelah pasangan terpilih diumumkan, paling tidak setelah versi quck count mencapai 80%. Dan, sebagai presiden terpilih, meskipun baru versi quick count, posisi tawarnya jauh lebih kuat. Sedangkan dampak negatifnya adalah, pertama, jika parliementary threshold masih diberlakukan, maka ada kemungkinan presiden terpilih tidak mempunyai perwakilan parpol di parlemen karena parpol yang mendukungnya tidak lolos ambang batas. Atau parpol pendukungnya hanya menempatkan segelintir anggotanya di parlemen. Dengan demikian, presiden terpilih tidak mendapat dukungan penuh dari parlemen. Akibatnya, stabilitas politik kerap kali terguncang. Kedua, jika calon presiden identik dengan parpol (dan menurut beberapa rilis survei memang demikian), maka seberkualitas apapun caleg yang diajukan, jika parpol tersebut tidak mempunyai figur capres yang kuat, maka caleg-caleg tersebut tidak akan terpilih. Demikian pula sebaliknya, hanya dengan mengandalkan figur capres kuat, caleg-caleg yang tidak berkualitas pun akan terpilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H