Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

X File: Konspirasi Putusan MK

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ruang kerjanya, Ketua Mahkamah Konstitusi menengadahkan kepalanya. Ponsel yang baru digunakannya diletakan kembali di atas tumpukan map. Setelah pembicaraan jarak jauh itu ia baru menyadari masalah yang sedang dihadapinya.

Putusan permohonan pemilu serentak yang sudah ditunda selama enam bulan harus segera dibacakan palu. Penundaan hanya akan mengacaukan negara ini. Tapi tarik menarik sesama hakim MK membuatnya berada di posisi serba salah. Ditambah lagi tekanan-tekanan dari luar. Beruntung tulang tengkoraknya kuat sehingga mampu meredam otaknya yang kerap kali mau meledak.

Sambil menghela nafas ia membuka map bergambar lambang negara.. Dari dalam map itu diambilnya lintingan ganja yang tadi urung dihisapnya. Lintingan daun haram itu kemudian dijepit bibirnya. Sementara tangan kanannya merogoh saku jas yang digantung di sandaran kursi, mencari geretan Zippo pemberian seorang bupati.

Tanpa menunggu lama ujung lintingan ganja itu disulutnya. Aroma asap daun ganja kering yang dibakar menggelitik syaraf-syaraf penciumannya. Matanya memejam merasakan sensasinya. Sensani yang kerap ia nikmati sesaat setelah semua sidang ditutup.

*****

Tujuh kilo meter dari Gedung Mahkamah Konstitusi. Di sebuah apartemen di lantai delapan.

“Jadi Kabe menolak tawaran kita,” kata seorang perempuan dengan nada datar. Ia menyebut Ketua MK dengan kode Kabe kependekan dari Kalimantan Barat.

“Seratus ditolaknya,” sahut suara berat lelaki di sampingnya. “Memangnya dia minta berapa lagi? ... satu triliyun!”

“Tidak tahu. Tadi ditelepon ia tidak menyebut angka,” kata seorang lelaki. Jemari tangannya mengelus2 layar smartphone-nya.

“Apa dia ditawar lebih tinggu?” tanya si perempuan. Wajahnya muram menunjukkan kekecewaannya.

Lelaki yang sedang mengelus layar smartphone-nya menggeleng pelan.

“Pemilu akan bersamaan,” ucap lelaki bersuara berat. Matanya melirik ke jam dinding yang menggantung di hadapannya. Jarum pendek jam mengarah di antara angka tujuh dan delapan. “Baiknya saya laporkan saja pada Boss. Terserah Boss mau bagaimana.” Kemudian jejarinya yang lentik menyentuh layar sentuh telepon pintarnya.

*****

Kurang dari satu kilo meter dari Gedung Mahkamah Konstitusi. Di ruangan luas dengan lambang negara digantung di satu sisinya. Foto-foto berjejeran di sudut lainnya.

“Habis kita bila pemilu nanti bersamaan,” kata lelaki berbadan besar. Genggaman pada ponselnya menguat. Wajahnya mengeras.

“Kita tahu siapa Ariel.” terdengar suara berat lelaki diujung sambungan. “Dan, kita punya informasi soal permainan dia dalam pemilu daerah.”

“Lalu.”

“Kita kirim informasi itu ke KPK.”

“Seberapa cepat KPK bisa bertindak.”

“Laporan yang kita punya lengkap. KPK tinggal menelusurinya saja.” Terdengar suara batuk perempuan dari ujung telepon.

“Kapan?”

Tidak ada jawaban dari ujung sambungan.

“Baiklah,” ucap lelaki berbadan besar penuh ketenangan, “Terima kasih.” Kemudian hubungan jarak jauh diputusnya.

Lelaki berbadan besar itu menyandarkan pantatnya meja kerja berukiran Jepara. Bayangan kehancuran partai yang diketuainya semakin nyata. Selain sorotan media yang terus-menerus mengarah pada kasus korupsi yang menjerat kader-kader puncaknya, pemilu yang digelar serentak akan semakin menenggelamkan partainya.

Strateginya dengan mengadakan konvensi bakal calon presiden bakal sia-sia bila pemilu serentak digelar tahun depan. Mau tidak mau dari seluruh peserta konvensi yang akan direktutnya paling banyak hanya menyisakan dua tokoh. Sementara peserta konvensi yang tidak menang akan “angkat koper”, tidak mau lagi terjun dalam kampanye pemilu legislatif mendukung partainya.

Berkali-kali lelaki bertubuh besar itu memejamkan matanya. Dipusatkannya seluruh daya pikirnya. “Harus ada plan “B”,” pikirnya.

Setelah hampir seperempat jam berpikir ia menemukan skenario lainnya. Bukan hanya skenario yang dicadangkannya, tapi rencana yang dilancarkannya secara pararel. Mengingat waktu semakin sempit, dua skenario pasti lebih baik pikirnya.

Setelah yakin dengan skenario keduanya, pria bertubuh besar itu menekan-nekan tombol-tombol pada keypad Nokiajenis E90-1 Communicator-nya. “Ya saya sendiri,” jawabnya ketika pemilik nomor ponsel yang dihubunginya menyebuy nama lengkapnya untuk memastikan. “Saya ingin memastikan, apa selentingan ganja di MK bisa dipercaya.”

Pria bertubuh besar itu mengangguk-anggukkan mendengar penjelasan yang diterimanya. “Kalau begitu sebentar lagi akan ada orang yang akan menghubungi Bapak,” katanya setelah mendengarkan seluruh penjelasan yang dibutuhkannya. “Dan, saya mohon kerja samanya.”

*****

Tiga minggu setelah ditangkap tangannya Ketua MK oleh KPK pria bersuara berat bertamu di rumah pria berbadan besar yang terletak di kawasan Bogor.

“Akhirnya KPK menangkapnya,” kata pria berbadan besar. Sudut matanya menangkap putra bungsunya yang tengah bermain senapan air di taman rumah bersama kedua cucu dan istrinya. Senyumnya mengembang melihat cucu perempuannya menyemprotkan senapa air yang membuat lengan panjang putranya basah.

Pria bersuara berat tersenyum puas. Ia merasa usahanya dihargai. “Tapi, ada yang aneh,” tanyanya.

“Apa?” tanyanya sambil menahan tawa melihat istrinya yang terpeleset saat mengambil posisi memotret kedua cucunya.

“Lintingan ganja dan obat-obatan itu. Bagaimana bisa ketua MK menaruh ganja dan obat-obatan begitu saja di laci meja kerja yang mudah dibuka.” Pria bersuara berat menyisir rambutnya yang disibakan angin. “Apa ada orang lain yang bermain?”

Mendengar pertanyaan itu, Pria berbadan besar menjawabnya dengan tersenyum tipis disertai gelengan kepala pelan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline