Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Kenapa Jokowi Dicapreskan Jelang Kampanye Terbuka?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13949655071887259660

[caption id="attachment_326816" align="aligncenter" width="562" caption="Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri (dua kanan) berfoto bersama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (dua kiri) dan Ketua Panitia Rakernas III PDIP Puan Maharani (kanan) usai mengikuti acara penutupan di Ancol, Jakarta, Minggu (8/9/2013).  Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Awalnya PDIP berencana mengumumkan pencapresannya pasca pileg. Rencana itu pun ditegaskan berulang-ulang. Bahkan, dalam dua skenario pencapresan yang diungkapkan Tjahjo Kumolo pun rencana itu masih dipegang. Dan alasan mendasarinya pun tetap sama: perolehan suara pemilu legislatif. Apakah PDIP tembus 20% atau tidak. Di samping itu terkesan PDIP belum tentu mencapreskan Jokowi

Namun, ada beberapa fakta yang harus dipertimbangkan. Pertama, rilis-rilis survei yang menyebut perolehan suara PDIP bakal melesat bila Jokowi dicapreskan sebelum pileg. Kedua, muncul ancaman boykot PDIP bila tidak mencapreskan Jokowi sebelum pileg. Teriakan “Jokowi yes! PDIP no!” semakin kecang disuarakan di dunia maya. Lebih dari itu ancaman meningginya gelombang golput pun semakin kencang.

Fakta-fakta lain yang menjadi pertimbangan PDIP adalah adanya perjanjian Batu Tulis. Sekalipun sampai sekarang, baik PDIP maupun Gerindra, belum membeberkannya kepada publik, namun perjanjian antara PDIP dan Gerindra yang ditandatangani pada 2009 itu ada. Selain itu, semakin jauh waktu pencapresan dari pelaksanaan pilpres, maka serangan lawan politik berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi. Dan, tidak ada yang tahu sampai seberapa jauh dampak dari gerusan tersebut terhadap Jokowi.

Jika perjanjian Batu Tulis dapat dikesampingkan, tidak demikian dengan serangan-serangan terjadap Jokowi. Jika diperhatikan, serangan terhadap Jokowi meningkat mendekati gelar kampanye terbuka 16 Maret 2014 ini. Video janji-janji Jokowi saat pilkada ditayangkan di stasiun TV dan disebar di media sosial. Sosok Jokowi diidentikkan dengan PDIP yang dinilai korup. Tidak hanya Jokowi dan PDIP yang menjadi sasaran tembak, Ahok yang akan menjadi Gubernur DKI bila Jokowi terpilih sebagai RI 1 pun menjadi bulan-bulanan serangan SARA.

Selain kampanye negatif, Jokowi dan PDIP pun pastinya sudah memertimbangkan kampanye hitam yang umumnya, berbalut SARA. Jokowi disebut keturunan China dan beragama Kristen. “H” di depan nama Jokowi bukan “haji” tapi “Handoko”. Jokowi dicukongi oleh konglomerat-konglomerat hitam.

Baik kampanye negatif maupun kampanye hitam keduanya disebarkan oleh kelompok-kelompok yang sama: petinggi dan kader parpol pesaing, kelompok radikal berjubah, dan kelompok lainnya yang tidak berafiliasi dengan keduanya. PDIP mungkin masih ingat malam hari jelang pemilu 2009 disebarkan selebaran yang berisi daftar nama caleg PDIP non muslim. Selebaran tersebut dibagikan di berbagai tempat, seperti pangkalan becak, tempat kumpul ibu-ibu, dan tempat-tempat kumpul lainnya. Berkaca pada pilgub DKI dan Jabar, tidak menutup kemungkinan kampanye hitam serupa akan kembali terulang. Kampanye hitam yang disebar langsung ke tengah masyarakat pastinya lebih sulit diantisipasi.

Melihat fakta-fakta di atas, jelas waktu pencapresan Jokowi tidak bisa lepas pileg. Sampai 9 April nanti ada sisa beberapa hari bagi PDIP untuk mencapreskan Jokowi, termasuk di masa tenang pemilu. Jika waktu pencapresan Jokowi mendekati 9 April atau di masa tenang, ada sisi positif dan negatif bagi PDIP. Sisi positif, PDIP dapat memanfaatkan euforia publik pasca masa kampanye. Tapi, hal tersebut sangat tergantung pusat perhatian media. Masalahnya PDIP tidak memiliki media untuk mengelola momentum tersebut. Kemudian dengan waktu yang singkat sulit bagi PDIP untuk mensosialisaskan pencapresan Jokowi ke seluruh penjuru tanah air. Sedang sisi negatif adalah meningkatnya serangan terhadap Jokowi-PDIP yang belum tentu bisa dibendung.

Karena PDIP belum tentu mampu mengelola sisi positif jika waktu pencapresan dibacakan jelang 9 April, sedang PDIP pun belum tentu bisa mengantisipasi serangan-serangan, maka waktu yang tepat adalah sebelum kampanye terbuka. Pertama, PDIP dapat sekaligus mensosialisasi Jokowi sebagai capresnya. Kedua, PDIP mempunyai waktu cukup untuk menjinakkan serangan-serangan terhadapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline