Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Beda Dengan 2009, 2014 Parpol Islam Jadi Seksi

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari berbagai rilis survei bisa disimpulkan hanya dua dari 5 parpol Islam yang akan lolos ke Senayan, yaitu PPP dan PKB. Sedang PKS dan PAN berada di zona “lampu kuning”. Satu parpol Islam lagi, PBB, diprediksi gagal. Namun, di tengah keterpurukan tersebut, nampaknya parpol-parpol Islam masih tetap seksi bagi parpol lainnya untuk memenuhi batas presidential threshold (PT).


Situasi ini berbeda dengan hasil pileg 2009, di mana parpol Islam secara berturutan menempati posisi empat sampai tujuh dengan perolehan suara 7,88 % dan yang terkecil 4,94 %. Selain perolehan yang signifikan parpol Islam pun dengan mudah menentukan koalisi. Pasca pileg keempat parpol Islam tersebut mendukung SBY yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dan sulit dikejar tokoh lainnya. Berkoalisinya keempat parpol Islam tersebut pun diperlancar dengan hubungan baik selama berada dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.


Banyak yang mengatakan pada 2009 silam bila parpol Islam disebut seksi. Padahal parpol Islam jauh dari seksi. Pertama SBY yang diusung Demokrat tidak membutuhkan tambahan parpol untuk lolos presidential threshold. Di samping itu kemenangan pilpres lebih dilandasi faktor ketokohan pasangan capres-cawapres.


Kini, pada pemilu 2014, peta politik berubah. Elektabilitas Partai Demokrat kini melorot sampai menyentuh angka 6 %. Sedang bakal capres lewat ajang pencarian konvensi Demokrat tidak satu pun yang berelektabilitas di atas 10 %. Di lain sisi calon kuat Presiden RI dengan elektabilitas tertinggi dan sulit dikejar tokoh lainnya berasal dari PDIP, parpol yang selama 10 tahun tidak pernah bergabung dalam lingkar kekuasaan.


Sementara dengan elektabilitas PDIP paling rendah berada di kisaran 18+ %, maka cukup bagi PDIP untuk berkoalisi dengan parpol yang hanya meraih 1+ % suara. Sedangkan PDIP lebih cenderung memilih berkoalisi dengan parpol nasionalis. Inilah yang menjadi hambatan bagi parpol Islam untuk bergabung dalam koalisi pimpinan PDIP.


Jika diamati, jelang 2014 parpol Islam sudah lama mencoba berhubungan baik dengan PDIP. Serangan Amien Rais terhadap Jokowi langsung dibantah sebagai serangan pribadi oleh elit PAN. PKS pun bermain dengan dua kaki, ada elit yang terus menyerang Jokowi, namun ada juga elit yang cenderung mendukung Jokowi. Sementara PPP memasukkan nama Jokowi dalam daftar capresnya. Hanya PKB yang belum menunjukan sikapnya.


Sebenarnya parpol Islam dalam pilpres 2004 ini justru menjadi seksi. Parpol Islam akan jadi rebutan partai-partai yang telah memiliki jagonya. Tidak sebagaimana PDIP yang lebih cederung berkoalisi dengan sesama parpol nasionalis, tidak demikian dengan Golkar, Gerindra, Hanura, terlebih Demokrat. Untuk meloloskan calonnya berlaga dalam pilpres keempat parpol tersebut akan menarik dukungan parpol Islam.


Dari sisi psikologis tidak ada beban bagi parpol Islam untuk bergabung dengan Golkar atau Demokrat. Dengan kedua parpol tersebut parpol Islam berada dalam satu kabinet dalam 10 tahun terakhir. Kecuali PKS yang dianggap nakal oleh anggota koalisi lainnya, PPP, PKB, dan PAN akan diterima dengan pintu yang dibuka lebar. Dengan dukungan 3 parpol saja cukup bagi Demokrat untuk mengajukan pasangan capres-cawapresnya. Sedang bagi Golkar, untuk meloloskan capresnya tidak mebutuhkan dukungan sebanyak Demokrat.


Hanura dengan capres dan cawapresnya Wiranto-HT yang berelektabilitas rendah boleh jadi tidak dipandang oleh parpol Islam. Berbeda dengan Wiranto, Prabowo yang elektabilitasnya berada di posisi ke dua di bawah Jokowi. Dukungan pada Prabowo menjadi prioritas utama parpol Islam. Di sisi lain untuk mengajukan Prabowo, Gerindra, sebagai mana Demokrat, membutuhkan tambahan dukungan mininal 3 parpol Islam untuk memenuhi syarat presidential threshold. Jika Golkar mendukung Prabowo, dengan alasan elektabilitas Ical yang tidak juga membaik, maka Parbowo secara otomatis tidak lagi membutuhkan tambahan koalisi untuk memenuhi syarat presidential threshold.


Sekalipun demikian tidak menutup kemungkinan bagi parpol Islam untuk turut dalam gerbong koalisi Gerindra-Golkar. Memilih mendukung Prabowo yang berarti juga berhadapan dengan Jokowi, pastinya lebih diterima oleh kader-kader parpol Islam uang sejak Pilkada DKI memosisikan diri sebagai “lawan” Jokowi. Apalagi sejak 14 Maret 2013, kemarahan “kerja bakti” Prabowo dengan kader-kader parpol lainnya terlihat kompak menyerang Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline