Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Penggelembungan Suara Kok Primitif; Ini yang Canggih!

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin petang saya menyaksikan dialog di Metro TV. Dalam dialog itu ditampilkan secara samar Mr. X yang mengaku sebagai penyelenggara pemilu di daerah. Tidak disebutkan di daerah mana dia bertugas. Ada satu pernyataan Mr X yang menggelitik soal penggelembungan suara, katanya penggelembungan suara dilakukan dengan menambah angka 1 di depan perolehan suara atau menambah angka 0 (nol) di belakang angka perolehan suara.

Menambah 1 digit angka baik itu di depan atau di belakang jumlah perolehan suara pastinya berakibat pada penggelembungan berlipat-lipat suara. Suara caleg atau parpol yang sebelumnya hanya memperoleh 50 bila ditambah angka 1 di depannya, maka suaranya menjadi 150. Dan, jika ditambah angka 0 di belakangnya suara tersebut menggelembung menjadi 501. Akibat trik curang ini tentu saja jumlah suara yang sah bisa melebihi jumlah pemilih DPT.

Penggelembungan suara dengan modus ini seharusnya dengan mudah diungkap. Pertama karena jumlah pemilih dalam DPT tercatat, maka bila jumlah suara sah melebihi jumlah pemilih dalam DPT perlu dicocokkan dengan penambahan jumlah pemilih yang menggunakan Form A5, KTP atau sejenisnya yang tercatat dalam Form C1. Karena tidak menutup kemungkinan lebih tingginya jumlah suara yang sah ketimbang jumlah pemilih dalam DPT disebabkan oleh penambahan jumlah pemilih.

Namun, dalam rekapitulasi Form C6 terdata jumlah DPT (laki dan perempuan), jumlah surat suara plus surat suara cadangan (Jumlah surat suara= jumlah pemilih dalam DPT. Jumlah surat suara cadangan=2 % dari jumlah pemilih dalam DPT). Dari sini saja sudah bisa terungkap, jika terjadi peningkatan suara yang jauh melebihi jumlah pemilih DPT (di atas 2 %), pertanyaannya, dari mana surat suara itu didapatkan untuk menggelembungkan suara.

Jadi, dengan hanya bermodalkan lembaran DPT dan Form C1 saja sebenarnya modus penggelembungan suara dengan menambahkan angka 1 di depan atau angka 0 di belakang jumlah perolehan suara dapat dengan mudah diungkap.

Sebenarnya ada modus penggelembungan suara yang sulit diungkap, yang pada dialog di Metro TV kemarin tidak dibicarakan. Modus penggelembungan ini dilakukan dengan memanfaatkan surat suara yang tidak terpakai atau surat suara yang tidak dicoblos. Saya meyakini modus penggelembungan suara inilah yang banyak dipraktekan. Modus ini mudah dilakukan karena KPU lengah dalam memperlakukan sisa surat suara dan surat suara tidak sah yang tidak tercoblos, sementara saksi parpol pun kurang mendapat informasi terkait hal ini.

Setelah tahap pemungutan suara, sisa surat dihitung dan jumlahnya diumumkan. Seharusnya saksi mencatat sisi surat suara yang diumumkan, tapi yang saya amati saksi tidak mencatatnya. Sisa surat suara ini kemudian diberi tanda silang besar dengan menggunakan spidol. Masalahnya instruksi ini baru diterima KPPS pada hari H pileg, beberapa jam setelah tahan pemungutan suara berlangsung. Bagaimana dengan TPS yang lokasinya jauh dari pusat kelurahan, sedang jaringan seluler sulit dijangkau? Di sini pun terdapat celah penggelembungan suara, sebab tidak ada seorang pun saksi yang menyaksikan pencoretan sisa surat suara.

Kemudian dengan surat suara tidak sah yang tidak dicoblos. Tidak ada perlakuan sama sekali untuk surat suara ini yang diatur oleh KPU. Padahal jumlah surat suara tidak sah yang tidak dicoblos dalam 1 TPS jumlahnya bisa puluhan. Akibatnya surat suara ini bisa digunakan untuk menggelembungkan suara. Caleg/parpol. Kembali faktor lemahnya peran saksi parpol membuat kecurangan modus ini berlangsung dengan tenang. Sepengamatan saya, banyak saksi parpol yang hanya mencatat perolehan suara parpol yang diwakilinya saja. mereka tidak mencatat perolehan suara caleg/parpol lainnya.

Di TPS saya ada 70-an sisa kertas suara dan tiga puluhan surat suara tidak sah yang tidak dicoblos. Jadi total ada ratusan suara yang bisa digelembungkan. Bayangkan, bagaiman dengan TPS-TPS lainnya?

Jadi jelas, adanya kasus penggelembungan suara tersebut disebabkan oleh kurang antisipasinya KPU dalam menekan potensi-potensi kecurangan, mental penyelnggara pemilu, dan lemahnya fungsi saksi.

Dalam periode komisioner KPU yang sekarang pastinya sudah berlangsung ratusan kali pilkada, baik pilwalkot/pilbup maupun pilgub. Masa dari ratusan kali pilkada itu tidak seorang pun dari anggota KPU yang melihat adanya celah terjadinya penggelembungan suara. Soal surat suara tidak sah yang tidak dicoblos misalnya, kenapa KPU tidak mengintruksikan kepada KPPS untuk “merusak” surat suara tersebut dengan mencoblosnya berulang-ulang sehingga tidak memungkinkan lagi untuk disalahgunakan?

Penggelembungan suara modus ini sangat mungkin terjadi lagi pada pilpres 9 Juli nanti. Kalau KPU belum juga mengantisipasinya, lebih baik gantung mereka di monas.

Saran saya, sesekalilah komisioner KPU blusukan di TPS saat pilkada nanti. Katakanlah dari ratusan pilkada dipilih 3 % TPS untuk dipantau sejak buka pukul 07.00 sampai selesai. Kalau tidak sempat atau takut kepanasan, digigit nyamuk atau lainnya, bentuk tim khusus untuk memantau pilkada langsng di TPS sample. Masa saya yang baru pertama kali ambil bagian saja sudah bisa menemukan banyak celah kecurangan dan kelemahan pelaksanaan pemilu. Apa komisioner KPU tidak malu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline