Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Saya yang Pernah Menyesal Mendukung Jokowi dan Mereka yang Ditolak "Cintanya"

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa jadi sayalah orang pertama di dunia ini yang mendorong pencapresan Jokowi untuk pilpres 2014 ini. Tidak hanya mendorong, saya pun menyerukan golput bila Jokowi tidak dicapreskan. Itu yang saya tuliskan dalam Mereka Menyesal Mendukung Jokowi - Kompasiana yang ditayangkan pada 24 November 2012.

Saya mengikuti kiprah Jokowi jauh hari sebelum maraknya pemberitaan mobil Esemka. Teman saya yang tinggal di Solo yang menceritakan keberhasilan Jokowi membangun Solo. Jarang sekali saya mendengar ada pemimpin daerah yang dibangga-banggakan oleh warganya. Setiap mendengar cerita temanku itu saya membayangkan kalau kinerja semua kepala daerah di Indonesia ini seperti Jokowi. Setiap mendengar cerita temanku tentang kemajuan Solo, saya membayangkan bila Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia.

Menangnya Jokowi dalam Pilgub DKI membuat harapan saya untuk memiliki presiden seperti Jokowi menyurut. Itulah kenapa saya, dan mungkin juga banyak teman lainnya, menyesal telah mendukung Jokowi pada Pilgub DKI. Biarpun demikian harapan itu tetap ada, dan satu-satunya cara hanya mengancam memboikot PDIP pada Pileg 2014. Dan, ternyata saya tidak sendirian, banyak teman-teman yang berpikiran sama. Itulah kenapa tekanan terhadap PDIP yang waktu itu belum mencapreskan Jokowi semakin kuat. PDIP diultimatum untuk mencapreskan Jokowi sebelum pileg. Hasilnya, pada 14 Maret 2014 lalu PDIP memberi mandat kepada Jokowi untuk nyapres.

Jika saja ada pemimpin lain yang lebih baik atau sekelas Jokowi pasti saya tidak akan keukeuh mencapreskan Jokowi. Lewat beberapa tulisan saya sering menyindir pemimpin lainnya dengan mengatakan Jokowi sebagai pemimpin gagal. Ya, Jokowi gagal menjadi teladan bagi pemimpin-pemimpin lainnya. Lihat saja, meski kiprah Jokowi selama memimpin Jakarta diekspos media, namun tetap tidak mampu mendorong pemimpin-pemimpin lainnya untuk memperbaiki kinerjanya. Biarpun media menyoroti keberhasilan Jokowi memberesi PKL Pasar Tenabang tanpa kekerasan, toh cara kerja Jokowi ini tidak ditiru oleh kepala daerah lainnya. Dari berbagai media saya masih saja mendapati berita bentrokan satpol PP dengan PKL

Saya masih ingat pada Desember 2012 nama Jokowi belum dimasukkan dalam survey Lembaga Survei Indonesia sebagai tokoh yang layak dicapreskan pada 2014. Mahfud MD lah yang dinobatkan oleh 223 tokoh dari berbagai kalangan sebagai capres potensial versi LSI dalam surveinya. Atas survei LSI yang saya nilai kurang cermat itu saya menulis Pilpres 2014, Tunggu Jokowi (Mengritisi Survei LSI). Benar saja, pasca banjir 2013 elektabilitas Jokowi sudah melampaui Prabowo Subianto yang sebelumnya selalu menempati puncak “klasemen sementara”.

Melonjaknya elektabilitas Jokowi itu tentu saja membuat sejumlah tokoh kalang kabut. Blusukan Jokowi yang sebelumnya diapresiasi mendadak dituding sebagai pencitraan. Media yang kerap memberitakan kiprah Jokowi pun dituduh sebagai media bayaran. Kompasianer yang saat itu membanjiri Kompasiana dengan tulisan tentang Jokowi pun disebut sebagai penulis bayaran. Meraka yang mengatakan itu lupa bila ada sentimen positif yang dimiliki Jokowi dan kurang dimiliki tokoh lainnya seperti yang saya tulis di sini “Rahasia Sukses Jokowi di Kompasiana”.

Mungkin, karena elektabilitasnya yang tinggi itulah TV One kemudian memosisikan dirinya sebagai lawan Jokowi. Berbagai serangan dilakukan stasiun TV milik ARB ini kepada Jokowi. Dalam tayangan Cover Story yang disiarkan Kabar Petang pada 9 September 2013 TV One mengambil judul “Jokowi Effect Redup”. Disebutkan kahadiran Jokowi dalam setiap kampanye pilgub tidak mampu mendongkrak perolehan suara kandidat yang didukungnya. Ditambahkan pula, Jokowi hanya mampu mengajak masyarakat untuk bertepuk tangan. Tentu saja serangan TV One membuat saya tertawa karena berdasarkan sejumlah survei, kehadiran Jokowi dalam kampanye-kampanye tersebut mampu mendongkrak elektabilitas calon yang didukungnya. Saya pun menyebut TV One sebagai media yang miskin data.

Ya, sejak elektabilitasnya melesat Jokowi menjadi bulan-bulanan pihak-pihak yang merasa terancam “masa depannya:. Kita masih ingat bagaimana Presiden SBY berusaha membangun opini tentang kemacetan di Jakarta yang belum teratasi. Seolah mendapat amunisi TV One pun gencar memberitakan kemacetan ibu kota. Sekali lagi Tv One mengukuhkan dirinya sebagai media yang asal siar karena sebenarnya urusan kemacetan Jakarta dan sekitarnya berada di bawah koordinasi Wapres Boediyono.

Ada 17 instruksi Wapres Boediyono untuk mengurai kemacetan yang dicanangkan pada September 2010, atau pada masa Gubernur Foke. Untuk itu UKP4 ditunjuk sebagai koordinator pengawasan implementasi 17 instruksi wapres tersebut. Menariknya, sejak 17 instruksi itu dikeluarkan sampai hari ini belum ada laporan resmi UKP4 yang bisa dilihat dari situsnya. Namun demikian, Deputi V UKP4 Nirarta Samadhi mengapresiasi Jokowi-Ahok dalam upaya mengatasi kemacetan di Jakarta. Nirarta menilai Jokowi dan Ahok sedikit demi sedikit memberi bukti. Nirarta pun menyebut terurainya kemacetan di Tanah Abang dan peningkatan kerja sama antara pempov DKI dengan berbagai instansi terkait sebagai bukti dari langkah Pemprov DKI dalam mengimplementasikan instruksi wapres.

Sampai sekarang Tv One bersama Partai Demokrat yang dibina SBY, PKS, FPI, dan ormas radikal lainnya memosisikan diri berhadapan dengan Jokowi. Mereka semakin gencar menyerang Jokowi dengan hujatan-hujatan fitnah-fitnah kej. Bagi mereka apapun yang dilakukan Jokowi selalu salah. Himbauan Jokowi untuk tidak menggelar takbir keliling disebut sebagai bukti bila Jokowi anti-syiar Islam, anti-Islam, dan segala predikan buruk lainnya. Mereka lupa bila himbauan, bahkan larangan, tidak takbir keliling sudah ada sejak masa Bang Yos dan Foke. Dan, ternyata waktu mereka mendukung larangan dari kedua gubernur tersebut.

Menariknya, ada di antara mereka yang kerap menyerang Jokowi pernah menyanjungnya. Amien Rasis, misalnya, ia pernah memuji blusukan Jokowi dan memerintahkan kader PAN untuk menirunya (sumber). Saat itu Amien sedang berusaha mengambil hati Jokowi agar mau maju bersama Hatta Rajasa. Tapi, begitu pinangannya ditolak, sikap Amien terhadap Jokowi berubah drastis. Amien menjadi rajin menyerang Jokowi, bahkan dengan memelintir data. Seperti menyebut Solo sebagai kota termiskin di Jawa Tengah. Padahal menurut BPS, kota termiskin adalah Solotigo, sedang Solo menempati posisi ketujuh sebagai kota terkaya di Jateng.

Tidak saja Amien, kader-kader Demokrat pun memuji-muji saat membujuk Jokowi untuk ikut dalam ajang pencarian bakal capres. Tapi, setelah Jokowi menolak, kader-kader Demokrat pun kembali getol menyerang Jokowi. PKS pun setali tiga uang. PKS yang ketika pilwalkot Solo mendukung Jokowi dan tidak sekali pun menyerang Jokowi sewaktu Pilgub putaran pertama manjadi beringas menyerang begitu (rumornya) permintaan maharnya ditolak. Jadi, bagi saya sudah sangat jelas bila serangan-serangan terhadap Jokowi tidak lebih dari bentuk kekecewaan mereka yang “ungkapan cintanya” ditolak. Tidak perlu saya tuliskan bagaimana kekaguman Prabowo kepada Jokowi sebelumnya. Demikian juga dengan ARB yang juga sempat mendekati Jokowi.

Mencermati perilaku “lawan-lawan” Jokowi itu saya berkeyakinan bila mereka sebenarnya mengagumi Jokowi, bahkan berharap “cintanya. Tapi, karena “cintanya” ditolak, mereka bersekutu memusuhi Jokowi. Maka, saya pun tidak pernah beringsut mendukung Jokowi sekalipun mereka mengata-ngatai saya kafir, anti-Islam, antek Yahudi, zionis, dll. Bagi saya, cercaan, makian, hujatan, dan lain terhadap Jokowi, saya, dan pendukung Jokowi lainnya tidak lebih dari ungkapan kekecewan karena “cintanya” ditolak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline