Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Info Hoax Umar Abuh Masih Disebarkan

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ngikik geli juga melihat masih disebarluaskannya pernyataan Umar Abuh soal data pilpres TNI/Polri seolah informasi itu 2.000% benar. Dalam video yang diunggah ke Youtube, Umar mengaku mendapat bocoran data dari TNI/Polri yang menyatakan Prabowo memang pilpres dengan 54% suara. Katanya informasi TNI/Polri ini bersifat rahasia dan hanya diberikan kepada “Cikeas” sebagai user-nya. Selain itu Umar pun mengatakan jomplangnya data pemilu PPK dengan KPU.

Kata Umar dalam video itu, personel TNI/Polri dibiarkan leluasa memotret hasil penghitungan suara tanpa ada yang berani melarang. Dan, karena diambil dari hasil jepretan, menurut Sekretaris Jenderal Center for Democracy And Social Justice Studies (CeDSoS ini, data TNI/Polri lebih akurat ketimbang KPU. Selain itu Umar juga mengatakan data TNI/Polri lebih lengkap dari KPU karena memuat data jumlah partisipan pemilu dan golput.

Kalau saja Umar melihat tahap pemilu langsung di lapangan pastinya ia tahu bukan hanya personel TNI/Polri yang dibolehkan memotret Formulir C1 Plano. Semua orang, tanpa perlu meminta izin, boleh memotret C1 Plano karena formulir hasil penghitungan suara ini dipajang di TPS setelah penghitungan suara selesai agar semua orang bisa mengetahui hasil pemilu di TPS tersebut. Sedang, selama proses pemilu berlangsung tidak satu pun aparat TNI/Polri yang memasuki TPS. Jadi yang dikatakan Umar itu salah besar.

Lagi pula tidak ada larangan mem-video-kan atau memotret aktivitas pemilu di dalam area TPS. Boleh-boleh aja memotret orang masuk TPS, mengambil surat suara, masuk ke bilik suara, memasukkan surat suara ke dalam kotak, mencelupkan jari ke tinta, sampai keluarTPS. Malah mengambil gambar orang yang sedang mencoblos pun boleh. Yang tidak boleh itu mengambil gambar pilihan orang karena sifatnya yang  rahasia.

Memang benar aparat TNI/Polri memiliki data hasil pemilu. Mulai dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, sampai seterusnya aparat TNI/Polri mencatat hasil pemilu. Masalahnya, kalau sumbernya sama, data mentahnya sama: dari TPS  bagaimana mungkin data TNI/Polri berbeda sampai 8% dari hasil resmi KPU?

Dalam pemilu personel TNI/Polri dilibatkan untuk menjaga keamanan. Itu pun bila anggota Linmas yang bertugas di TPS tidak mampu lagi mengatasi situasi. Karenanya satu personel TNI/Polri diperuntukan bagi beberapa TPS. Jadi mereka tidak berjaga di satu TPS saja.

Seandainya Umar pernah melihat C1 pastinya ia tidak akan mengatakan data TNI/Polri lebih lengkap dari KPU karena memuat data jumlah partisipan dan non partisipan (golput). Dalam C1 jelas terdapat Data Pemilih dan Data Pengguna Hak Pilih. Data Pemilih dan Pengguna Hak Pilih terdiri dari pemilih berdasarkan DPT, DPK, DPTb, dan DPKTb. Berapa jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya atau golput, ya tinggal kurangi saja jumlah Data Pemilih dikurangi jumlah Data Pengguna Hak Pilih. Misalnya total Data Pemilih di TPS 01 ada 400 sedang total Data Pengguna Hak Pilih di TPS tersebut 350 orang, berarti yang tidak datang dan mencoblos di TPS 01 adalah 50 orang.

Lucunya lagi, Umar mengatakan jomplangnya data PPK dengan KPU. PPK itu apa? PPK itu singkatan dari Penitia Pemilihan Kecamatan yang area kerjanya meliputi kecamatan. Di bawah PPK ada PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang wilayah kerjanya seputar kelurahan/desa. Di bawah PPS ada KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang wilayah kerjanya di TPS. Di atas PPK berturut-turut ada KPU Kota/Kabupaten, KPU Propinsi, dan KPU (pusat). Jadi PPK itu organ tubuh KPU sendiri. Data yang didapat KPU berasal dari PPK juga. Jadi, bagaimana mungkin data PPK jomplang dengan KPU? Di tengah sorot perhatian luas dari publik dan media, kalau data yang dibawa PPK ke jenjang di atasnya berbeda pastinya telah terjadi kericuhan luar biasa sejak rekapitulasi di tingkat kota/kabupaten.

Pernyataan Umar yang mengaku pakar intelijen ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar membangun opini adanya konspirasi antara presiden, TNI/Polri, KPU, dan institusi-institusi negara lainnya untuk memenangkan Jokowi-JK. Malah  Umar menyebutnya “Cikeas”, artinya yang berkonpirasi bukan SBY sebagai presiden, tetapi SBY sebagai Ketum Demokrat atau SBY sebagai pribadi.

Menariknya lagi, informasi hoax Umar ini disambung dengan informasi hoax lainnya yang mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) memeriksa Komisioner KPU gara-gara datanya berbeda dengan data TNI/Polri. Kalau memakai teori konspirasi yang dibangun Umar yang terlibat konspirasi memenangkan Jokowi bukan cuma KPU, tapi juga Presiden RI, TNI, Polri, dan yang lainnya. Jadi, seharusnya BIN juga memeriksa SBY sebagai presiden atau sebagai Ketum Demokrat.

Video pernyataan Umar Abuh:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline