Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

(Cinta, Kesetiaan, dan Seks) Antara Aku dan Banowati

Diperbarui: 12 Agustus 2019   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14202596681560238242

[caption id="attachment_362923" align="aligncenter" width="400" caption="Percintaan Arjuna dan Banowati. Suber gambar Baltyra.com"][/caption]


Belasan tahun sebelum Baratayudha

“Kangmas,” desah Dewi Banowati di telingaku. Dikecupnya telingaku lalu ia berguling turun dari atas tubuhku. 

Kumiringkan tubuhku menghadap Banowati. “Ya, dewiku,” ucapku lirih.

“Kamas, kenapa cinta kita berpuing-puing seperti ini? Kenapa kita tidak bisa bersatu?” Banowati menghadapku kemudian memelukku erat. “Aku tetap mencintaimu, Kamas.”

Kutatap mata Banowati yang mulai digelinangi air mata. Perlahan sebutir air matanya menetes. 

“Aku tahu, Sayangku.” Kusentuhkan bibirku di kelopak matanya yang menutup, lalu mengecupnya. 

Sebagai kekasih, aku bisa merasakan gejolak hatinya. Dari getaran suaranya aku pun bisa membaca luapan kemarahannya pada ayahnya yang menerima pinangan Duryudana. 


“Aku bersedia menikah dengan Kakang Duryudana,” kata Banowati lantang  di balairung Kerajaan Mandaraka satu purnama yang lalu.

Sambil mendekati ayahnya yang duduk di singasana Kerajaan Mandaraka, Banowati berkata, “Tapi, ada syaratnya.”

“Apa syarat itu, putriku,” sahut Prabu Salya dari singasananya. 

“Aku ingin Kangmas Arjuna yang memandikan dan merias wajahku.” 

Bagai disambar halilintar, aku mendengarnya. Sekilas kulayangkan pandanganku ke sekeliling. 

Hampir sebagian yang hadir di balairung berdiri manatapku. Kulihat wajah Duryudana menegang. Kedua matanya menyorot menatapku tajam.

“Tidak mungkin!” teriak Duryudana. “Kamu sudah kupinang. Kamu tidak boleh lagi bersama dia!” Telunjuk Duryudana menuding ke arahku.

“Anakku, Banowati, apa syarat itu bisa diubah?” Prabu Salya berupaya mengingatkan putrinya.

“Tidak Ayah!”


Malam ini, malam jelang pernikahan Banowati dengan Duryudana. 

Sesuai syarat yang diajukan Banowati, aku memandikan dan meriasnya. Mengguyur kekasihke dengan air kembang. 

“Kenapa Kangmas tidak sekalian mandi?” tanya Banowati yang memang pandai menggoda.

Belum sempat kujawab, Banowati sudah berlutut melepas ikat pinggangku.

Kupajamkan mataku merasakan setiap sentuhannya. Hembusan nafasnya menghangati setiap jengkal kulitku. Di ruang pemandian berhias bunga-bunga itu kami memacu hasrat. 

“Kangmas, berjanjilah menangkan Baratayudah untuk kita.” pintanya sambil menjentikkan telunjuknya di putingku. 

Lalu ia menjulurkan lidahnya. Ujung lidahnya yang basah meniti daguku. Naik perlahan menelusuri rahangku, lalu memutari lubang telingaku. Dan, sesekali daun telingaku digigitnya.. 

“Percayalah, aku akan memenangkannya. I am a man who will fight for your honor. I'll be the hero you're dreaming of,” .

“Tapi, kapan aku bisa merasakan shining armor-mu lagi?”

Aku tertawa kecil mendengarnya. 

Banowati yang dikenal genit dan nakal itu telah lama memikat hatiku. Aku telah ditenggelamkan oleh kegenitannya. 

"Yang pasti senjataku bukan seperti Konta yang sekali pakai," kataku.

“Tapi kapan?”

“Satu purnama lagi.” 


 

Sehari jelang Baratayudha

Aku termenung duduk di atas batu di pinggiran sungai. Besok aku akan mengawali hari-hari penentuan. Hari di mana perang besar sudah ditakdirkan terjadi. Dan tidak seorang pun dapat mencegahnya. Bahkan, dewa-dewa sekali pun. 

Sejak pagi tadii aku teringat kembali pesan Banowati “Menangkan Baratayudha untuk kita, Kangmas”. 

Ya, aku akan berusaha memenangkan perang itu untuknya, untuk cinta kita. Hanya itu satu-satunya cara kita untuk kembali menyatu. 

Tapi, aku menyadari pihak Kurawa didukung oleh Adipati Karna. Karna yang memiliki senjata sakti Konta. Senjata yang bahkan tidak mungkin dihadapi oleh dewa. 

Dan, Karna telah menyiapkannya saat berhadapan denganku di Kurustra nanti. Aku tidak mungkin menghindar dari kematia.  Aku pasti mati. 

“Banowati, maafkan aku.” 

Tiba-tiba punggungku terasa ditepuk. Aku menoleh. “Kakang Kresna.”

“Aku mencarimu. Ternyata sedang duduk di sini,” sahut Kresna dengan senyum manisnya. “Ada apa adikku?”

“Kakang,” ucapku lirih, “Besok kita maju ke medan laga.” Aku kembali terdiam. “Dan, cepat atau lambat aku akan mati di Kurusetra.”

“Arjuna, adikku, kemarin aku bertemu dengan Bunda Kunti. Aku berjanji kepadanya untuk menjaga agar putranya tetap lima.”

“Tetap lima?”

Kunti memiliki 4 orang putra, Puntadewa atau Yudhistira, Bima, Arjuna, dan Karna. Sedang Nakula dan Sadewa dilahirkan dari rahim Dewi Madrim. 

Sewaktu baru dilahirkan, Karna dilarung di sungai dan kemudian ditemukan dan dibesarkan oleh seorang kusir. 

Karenanya Karna hidup terpisah dari saudara-saudara lainnya. Sedang Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa diasuh oleh Kunti. Kelimanya disebut dengan Pandawa.

“Ya, tetap lima,” kata Kresna.

“Berarti, ada satu di antara kami berenam yang gugur. Dan, putra Bunda Kunti yang gugur adalah aku sendiri.”

Kresna tidak menyahut.

“Kakang ... aku sudah berjanji pada Banowati akan memenangkan perang untuknya. Kalau aku mati itu sama saja ...”

“Kita akan berusaha untuk memenangkannya.”

“Tapi, aku tidak mungkin melawan Konta.” Seketika melintas wajah banowati dengan derai air matanya. Perlahan air mataku mengambang sebelum akhirnya menetes.

 

Baratayudha hari ke-14 . 

Dari atas kuda aku mendengar sorak sorai kegembiraan pasukan Kurawa. Sepertinya ada ksatria Pandawa yang gugur lagi. Tapi, siapa? “Siapa yang gugur?” tanyaku pada pasukan di sekitarku.

Tidak ada yang menyahut. Mereka justru saling bertanya. 

Aku menjejak perut kudaku membuatnya melompat. Kupacu kudaku ke arah selatan. Sesampainya di tengah aku kembali bertanya. “Siapa yang gugur?” tanyaku penasaran.

“Gatotkaca.” Seorang prajurit menjawab.

“Gatotkaca!”

“Benar, Raden. Gatotkaca telah gugur.” Prajurit lainnya menjawab.

“Adipati Karna membunuhnya dengan Konta,” jawab prajurit lainnya.

Pikiranku langsung tertuju pada Kakang Kresna. Ini pasti akalnya. “Kakang Kresna .. mana Kakang Kresna!”  Sekali lagi aku menjejak perut kudaku.

“Kakang Kresna!” teriakku begitu melihatnya. Aku melompat turun dari kuda. “Kakang ... kenapa Kakang tukar nyawaku dengan nyawa Gatotkaca.”

“Arjuna, adikku tenang dulu,” balas Kresna.

“Kakang, apa Kakang pikir aku takut menghadapi kematian? Kenapa Kakang menukar nyawaku dengan nyawa keponakanku sendiri? Menukar kematianku dengan kematiannya!”

“Arjuna, aku sudah berjanji pada Ibumu.”

“Aku atau Karna yang mati, putra Bunda Kunti tetap lima. Itu yang pernah Kakang katakan. Siapa pun yang mati sama saja!”

Kresna mendekatiku. “Tidak hanya itu, Arjuna. Sewaktu aku menukar bayi perempuan yang dilahirkan Banowati. Aku berjanji akan menyatukan kalian berdua. Itu janjiku pada diriku sendiri.”

“Tapi, kenapa harus Gatotkaca?” Aku menggembor marah. “Dia suami dari anakku sendiri. Anakku dengan Banowati. Gatotkaca bapak dari cucuku sendiri. Cucuku dan  juga Banowati.”

“Hanya Gatot yang bisa memancing Karna mengeluarkan Kontanya.”

Belum sempat menjawab, aku melihat Bima menghampiriku.

“Arjuna, Gatotkaca gugur sebagai pahlawan. Jangan sesali kematiannya. Itu sama saja dengan melukai kepahlawanannya.”

 

Baratayudha hari ke-18

Gemuruh kemenangan membahana di sekitarku. Bima baru saja menewaskan Duryudana dengan gada saktinya, Rujak Polo.

Inilah akhir dari perang Baratayudha. Perang yang sudah digariskan oleh Dewa. Perang yang dimenangkan oleh Pandawa. 

Dan, inilah kemenangan yang aku dan Banowati tunggu selama beberapa tahun lamanya. 

Tanpa menunggu lama, kuterobos pasukan Pandawa yang tengah bersuka cita merayakan kemenangannya. 

"Aku pinjam kudamu,” pintaku pada seorang senopati.

“Silahkan, Raden.”

“Terima kasih,” kataku lalu lompat lalu duduk di atas pelana kuda. 

Kupacu kencang menuju istana Astinapura di mana Banowati menungguku. Tidak tahan ingin kutumpahkan rinduku padanya. 

Ingin juga kusampaikan padanya kalau putri buah cinta kita sudah menikah. Putri yang tidak sekejap pun digendongnya, Tidak sempat disusuinya. Tidak sempat dibesarkannya. 

“Banowati, aku datang. Perang sudah kita menangkan. Janji sudah kita tunaikan. We did it all for the glory of love!” 

 

Tiga hari setelah Baratayudha.

Aku dikejutkan dengan suara gaduh dari luar kamar. Sepertinya hari belum juga pagi. Dan, aku belum juga tertidur pulas. 

Otakku masih dipenuhi rencana tamasyaku bersama Banowati pagi ini. 

Semalam Banowati mengajak putri dan cucu kami ikut serta. Masih terbayang mata Banowati yang berkaca-kaca saat mengucapkannya. 

Masih terngiang semua kata-katanya semalam.

Suara dari luar kamar semakin gaduh. Dengan malas aku beranjak ke luar kamar. 

“Ada apa ini?” tanyaku pada emban yang lewat.

Emban yang ;kutanya tidak menjawab. Ia menundukkan wajahnya.

“Sadewa, ada apa?” tanyaku begitu melihat Sadewa.

“Kakang, ada pembunuh yang menyusup ke istana.”

“Pembunuh .. siapa yang dibunuh?”

“Semua putra Pandawa, semua putra sahabat, dan ...”

“Siapa lagi?”

“Dewi Sumbadra, Dewi Srikandi, dan kabarnya juga ...”

“Apa?” Aku terkejut mendengar nama-nama istriku disebut.

“Dan ...” Sadewa tidak meneruskan kata-katanya.

“Si ... siapa lagi?” 

“Dewi Banowati.”


“Banowati!” kataku tercekat. Mendadak semua benda yang kulihat menjadi dua dan berlipat. Suasana mendadak senyap. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline