KPK sebagai institusi wajib didukung, tapi mendukung KPK bukan berarti membentengi oknum-oknumnya dari jeratan hukum. Mendukung KPK wajib hukumnya, tapi tidak dengan membenturkannya dengan Polri sebagai institusi seperti yang dilakukan oleh “rakyat yang tidak jelas itu”. Jangan memalaikatkan personil KPK, sekaligus mengibliskan Polri secara institusi.
Kenapa? Jawabannya sangat jelas, KPK membutuhkan Polri karena sampai saat ini penyidik KPK masih “diimpor” dari Polri. Jangan sampai gara-gara pernyataan-pernyataan dari rakyat yang tidak jelas membuat hubungan KPK-Polri terus memburu. Coba pikir, kalau Polri menarik penyidiknya dari KPK, atau “mengekspor” anggotanya yang berkualitas rendah untuk menjadi penyidik KPK, maka habislah KPK. Siapa yang rugi?
Seharusnya sebelum berteriak-teriak mengibliskan Polri, “rakyat yang tidak jelas itu” membaca Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai tugas berkoordinasi dan mensupervisi instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari penjelasannya yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
Menurut UU tersebut kepolisian dan kejaksaan tidak disebut sebagai instansi yang dapat berkoordinasi dan disupervisi oleh KPK. KPK hanya berhak mengambil alih proses penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Jadi, sejak lahir pun KPK sudah dihadapkan dalam persaingan dengan Polri. Jadi, tidak mengherankan kalau yang terjadi bukannya kerja sama antara KPK dan kepolisian, malah “tarik tambang”. Karena “persaingan” itu, di awal masa tugasnya Kapolri Jenderal Sutarman sempat mewacanakan pembentukan densus anti korupsi.
Selain itu, minimnya jumlah penyidik KPK jika dibandingkan pihak yang perlu diawasi, dalam hal ini aparatur negara. Direktur Gratifikasi KPK, Giri Supriandono pernah memaparkan dengan jumlah 49 penyidik, KPK harus memonitor 5,2 jutaan PNS, jumlah itu belum termasuk Polri, TNI, DPR, dan penyelenggara negara lainnya.
Sebagai perbandingan, di Hong Kong, Commission Against Corruption (ICAC) memiliki 900 penyidik. Di mana setiap penyidik mengawasi 200 orang pegawai pemerintah. Jika mengacu pada ICAC, maka KPK membutuhkan sekitar 26.000 penyidik untuk bekerja maksimal.
KPK, kata ketuanya Abraham Samad, bukan tak mau menambah pegawai. Namun, penambahan pegawai sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dan DPR. Penambahan pegawai terkait dengan anggaran dan KPK tak punya kewenangan soal pengaturan dana itu. Usul penambahan 1.000 penyidik, ujar Abraham, pernah disampaikan KPK. Dan, setelah berkali-kali ditolak akhirnya ada penambahan penyidik, tetapi jumlahnya hanya 100 orang.
Jika pun kemudian jumlah 100 penyidik itu dipenuhi KPK tetap tidak mungkin bekerja maksimal. Jangankan untuk membuka perwakilan di semua propinsi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 19 UU KPK, untuk menuntaskan kasus-kasus yang masih mangkrak saja jumlah tersebut belum cukup. Padahal KPK sudah banyak menerima laporan kasus korupsi dari daerah. Dari Jawa Timur saja KPK sudah menerima laporan adanya mega skandal korupsi yang menurut Samad sendiri sulit untuk diungkap.
Ini “penyakit bawaan” KPK yang seharusnya dipikirkan oleh “rakyat yang tidak jelas itu”. KPK masih membutuhkan lebih banyak penyidik. Mungkin kekurangan banyak penyidik ini juga yang menyebabkan kasus-kasus korupsi mangkrak selama bertahun-tahun. Persoalannya, KPK memiliki banyak keterbatasan dalam memenuhi jumlah penyidiknya. Salah satunya, penyidik yang masih “diimpor” dari Polri. Artinya, nasib KPK sangat tergantung Polri.
Apakah “rakyat yang tidak jelas” itu masih akan terus mengibliskan Polri yang justru berpotensi melemahkan KPK ke depan. Atau, tidak menutup kemungkinan bila di antara “rakyat yang tidak jelas” itu menyusup kaki tangan koruptor yang bertujuan melemahkan KPK.
Salah satu indikasi menyusupnya kaki tangan koruptor ke dalam barisan “rakyat yang tidak jelas itu” adalah desakan kepada presiden untuk memberikan hak imunitas bagi pimpinan KPK. Dengan hak imunitas tersebut, selama masa tugasnya pimpinan KPK terbebas dari jerat hukum. Apakah “rakyat yang tidak jelas” itu yakin bila pimpinan KPK tidak bakal tergelincir dalam suatu perkara kriminal, bahkan korupsi. Seharusnya “rakyat yang tidak jelas” itu berpikir, jika membentengi KPK tidak bisa dilakukan dengan melindungi “tikus-tikus” yang berkeliaran di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H