Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Kejanggalan Teror pada KPK yang Diberitakan Kompas.com

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Geli juga membaca Kompas.com tentang bentuk-bentuk teror yang menimpa pegawai KPK. Ceritanya, setelah KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, sejumlah karyawan KPK mengaku menerima teror. Teror ini dilakukan oleh orang-orang yang tak dikenal.

Begini salah satu bentuk teror yang terjadi, Sore hari sebelumnya ada kejadian yang menjurus pada ancaman fisik terhadap salah seorang keluarga pegawai KPK oleh orang tak dikenal. Awalnya, dia hendak menjemput istrinya yang bekerja sebagai salah seorang pejabat struktural bidang hukum di KPK. Sebelum menjemput istrinya, dia menelepon dari samping gedung KPK. Saat menelepon itulah datang orang tak dikenal menggunakan sepeda motor menghampirinya. Tiba-tiba pengendara sepeda motor ini dengan nada tinggi bertanya mengapa dia memotret menggunakan kamera telepon genggam.

Merasa aneh dengan pertanyaan orang tak dikenal itu, suami pegawai KPK balas mengatakan apa maksud pertanyaannya. Namun, si pengendara motor ini langsung hendak merampas telepon genggamnya. Beruntung suami pegawai KPK ini bisa menghindar dan segera masuk ke gedung KPK. Ketika itulah dia melihat ada pistol yang terselip di pinggang pengendara sepeda motor tersebut.

Kalau melihat dari informasi tersebut, TKP berada di jalan atau trotoar di samping gedung KPK, bukankah di jalan atau rotoar merupakan fasilitas umum yang bisa digunakan oleh siapa saja dan pastinya banyak orang yang berlalu lalang di sana.  Pertanyaannya, bagaimana si peneror tahu kalau yang menelepon di samping gedung KPK itu keluarga dari salah satu pejabat KPK?

Suami pejabat KPK yang mengaku diancam ini datang untuk menjemput istrinya, bisa disimpulkan bila waktu kejadian antara sore atau malam hari. Artinya hari sudah mulai gelap dan sumber cahaya berasal dari lampu jalanan atau lampu kendaraan yang lewat.  Pertanyaannya, dengan pencahayaan yang minim tersebut, bagaimana si suami bisa melihat pistol yang terselip di pinggang si pengendara motor? Bukankah setelah ia masuk ke gedung KPK ada jarak antara ia dan si pengendara bermotor.

Katakanlah si suami melihat pistol yang terselip itu pada saat si pengendara motor akan merampas handphone-nya. Artinya jarak antara si suami dengan pelaku sangat dekat. Dari jarak yang dekat ini, sekalipun dalam cahaya yang minim, si suami bisa melihat gagang pistol yang terselip di pinggang pelaku. Masalahnya, pistol yang terselip di pinggang akan nampak bila tidak tertutupi oleh pakaian. Pengendara bermotor, apalagi di jalan raya dan menjelang malam, biasanya menggenakan jaket. Pertanyaannya, apakah si pengendara bermotor sempat melepas retsleting jaketnya sebelum ia berusaha merampas HP si suami?

Jika aksi teror itu benar terjadi di sekitar gedung KPK seharusnya peristiwa tersebut terekam oleh CCTV yang dipasang di gedung KPK sebagaimana peristiwa pembunuhan anggota Provost Polair Markas Besar Kepolisian Bripka Sukardi, dari sebelah kiri Sukardi yang ditembak di depan gedung KPK pada September 2013 lalu..

Dan, pertanyaan paling mendasar adalah, bagaimana perampasan HP di pinggir jalan di samping gedung KPK dikaitkan dengan teror terhadap pegawai KPK?

Nah ini ada bentuk teror yang tidak kalah lucunya. Disebutkan, Bahkan, yang lebih terang- terangan, salah seorang pejabat struktural KPK di bidang penyidikan tiba-tiba didatangi seseorang dari instansi asalnya yang memiliki pangkat lebih tinggi. Kepada pejabat KPK ini, dia memaksa agar dalam batas waktu tertentu harus segera mengundurkan diri dari KPK. Permintaan itu disertai ancaman bahwa data keluarganya sudah diketahui oleh pihak yang meminta pejabat KPK tersebut mundur.

Di sini tidak jelas TKP-nya di mana. Tetapi, pelaku teror sangat jelas, yaitu orang dari instansi pejabat KPK itu berasal dengan pangkat yang lebih tinggi. Dari “pejabat struktural KPK di bidang penyidikan” bisa diperkirakan bila penerornya 90 % adalah anggota kepolisian. Tidak salah jika Kompas menulis “lebih terang-terangan”.

Dan, untuk lebih menguatkan ancamannya, si peneror mengatakan jika sudah mengantongi data keluarga korbannya. Tidak salah jika si peneror mengantongi data keluarga pegawai KPK ini, karena si peneror berasal dari instansi yang sama dan memiliki pangkat yang lebih tinggi dari korbannya. Jangankan yang berpangkat lebih tinggi yang berpangkat lebih rendah pun akan mudah mengetahui data keluarga atasannya.

Menariknya, apa mungkin pelaku melakukan aksi teror secara terang-terangan seperti itu. Jika hanya ingin menekan pegawai KPK untuk mundur dengan mengancam keselamatan keluarganya, bukankah masih ada cara-cara lain yang bisa ditempuh. Misalnya dengan mendatangi anak pegawai KPK itu disekolahnya atau mendatangi keluarga pegawai KPK itu di rumahnya. Bukankah cara ini juga dilakukan dalam meneror KPK seperti yang diberitakan Kompas, Teror dan ancaman terhadap pegawai KPK juga langsung datang ke rumah. Rumah sejumlah pegawai KPK didatangi orang tak dikenal. Orang-orang tak dikenal ini langsung menemui anak-anak dan istri para pegawai KPK serta meminta agar suaminya berhenti menjadi pegawai KPK.

Mendatangi keluarga pastinya lebih mudah dan tidak beresiko. Dengan cara ini pelakunya bisa siapa saja asal mau dan berani melakukan ancaman. Karena pelakunya bisa siapa saja, maka identitas pelaku teror pun lebih sulit diketahui. Tapi, dalam kasus teror ini semuanya benderang. Si peneror yang dikenali oleh korbannya datang sendiri. Jadi, seharusnya polisi dengan mudah mengungkap kasus ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline