Selain terdengar singkat, Min juga bisa berarti kurang. Pada kenyataannya, di suatu pasar sebuah kota bernama Kutoarjo, seorang lelaki bernama Parmin dan lebih sering dipanggil Min, pun ditengarai kurang waras. Kabar tersiar, Min, kuli panggul pasar Kutoarjo tersebut, tidak mengenyam bangku sekolah. Barangkali, itulah hal yang di antaranya membuat keyakinan orang-orang jika Min ialah pribadi yang kurang.
Tanpa bekal dan cium istri, jauh sebelum subuh, Min biasa mengayuh sepeda onta menuju pasar yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Menepis dingin dini hari dengan mengantar karung demi karung ke tempat tujuan. Menyulap tangan, pundak sehingga kepala jadi gerobak sehingga matahari terbit. Baru kemudian Min pulang ke rumah untuk sarapan. Dan bergegas menuju aktivitasnya yang lain. Mengangkut batang-batang kayu atau menjemur papan-papan kayu sehingga rembang petang.
Min yang tahu lima orang anaknya sebenarnya "bukan anak-anaknya" sebagaimana kabar yang hingar dinyatakan orang-orang yang mengenalnya dan juga tetangganya, hanya ingin anak-anaknya pintar, tidak seperti dirinya. Sederhana dan mungkin juga jamak. Tetapi, lebih mungkin tidak jamak jika menilik keikhlasan berbuat semuanya itu untuk 'keluarga' dan 'darah daging'nya dalam tanda kutip.
Andai lelaki sebagaimana Min, barangkali banyak pejantan muda yang tidak gengsi, bekerja dan berupaya dengan lain cara. Ada juga cinta yang tidak berakhir di ruang aborsi atau bahkan juga pembunuhan karena dalih malu, tidak siap sampai khianat pengingkaran! Maka, jika tidak keberatan, bolehkah sebuah huruf D ditambahkan di belakang nama Min?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H