Belakangan nama Maudy Ayunda ramai menjadi sorotan publik, sampai-sampai menjadi tranding di Twitter. Bukan tanpa alasan, pasalnya, perempuan manis terpelajar sekaligus aktris, tiba-tiba saja tanpa geluduk dan hujan melangsungkan akad nikah. Ibarat petir di siang bolong, membuat kaget hingga terjungkal.
Perempuan berparas cantik ini memang senyap soal asmara namun nyaring soal karir dan pendidikan. Maka tak heran bilamana banyak dari warga terperangah kaget.
Seperti yang disebut di atas, Maudy Ayunda alias Ayunda Faza Maudya adalah perempuan dengan prestasi dan karir yang mentereng. Belum lama ini, perempuan jebolan Stanford University menjadi juru bicara di acara skala Internasional yakni G20 beberapa waktu lalu.
Jesse Choi, ya dialah sesosok lelaki yang berhasil meluluhkan hati salah putri terbaik Indonesia, Maudy Ayunda. Menurut informasi yang ada, Jesse Choi adalah pria berkebangsaan Amerika Serikat dan teman sebangku kuliah dengan Maudy Ayunda. Tidak kalah dengan Maudy, Jesse Choi juga pria yang memiliki sederet karir dan prestasi yang gemilang.
Entah dari mana asalnya, sepintas terfikir hendak menduduk sandingkan antara Maudy Ayunda dengan Nyai Ontosoroh. Tokoh fiksi yang dikenalkan oleh sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam magnum opusnya "'Tetralogi Pulau Buru". Namun belakangan saya tahu, ternyata Nyai Ontosoroh sengaja diangkat Pram, sedikit banyaknya representasi dari Ibunya sendiri. Begitu kira-kira.
Nyai Ontosoroh alias Sanikem adalah ibunda Minke tokoh utama karya tersebut. Pada mulanya, Nyai Ontosoroh adalah perempuan desa yang menjadi gundik dari tetua ladang pada saat itu, Herman Mellema namanya. Dinikahilah Nyai Ontorosoh yang saat itu masih terbilang muda.
Memang, Nyai Ontosoroh bukanlah warga tanah air yang mengenyam pendidikan formal kala itu. Namun karena rasa penasaran dan hendak terbebas dari segala bentuk pembelengguan belajarlah ia lewat buku-buku yang berserakan.
Nyai Ontosoroh kemudian tumbuh menjadi sesosok pribumi yang tegas, pintar, berfikiran jauh, usahawan, dan cemerlang. Nyai Ontosoroh adalah salah satu dari sedikit perempuan yang terpelajar saat itu, khususnya di Wonokromo, Surabaya. Suatu desa di mana rakyatnya teramat segan dengan Nyai Ontosoroh. Atau, nun jauh di sana, terdengar perempuan bernama Kartini.
Nyai Ontosoroh sadar kemerdekaan dirinya direnggut, ia berusaha keluar dari dekapan tersebut. Hal ini diperparah dengan budaya Jawa yang mendiskriminasikan perempuan. Nyai Ontosoroh banyak belajar, bahasa, membaca, menulis hingga menghitung. Karenanya, Nyai Ontosoroh dapat mengelola perusahaan ladang miliknya.
Dengan perusahaan yang di bawah naungannya, di sana Nyai ontosoroh memperkejakan pribumi, hingga sarjana-sarjana Eropa ia pekerjakan di perusahaannya. Nyai Ontosoroh mampu mengurus dan mengatur banyak hal, administrasi, modal, keuntungan dsbg. Ia perempuan-perempuan tangguh.
Kini, baik Nyai Ontosoroh maupun Maudy Ayunda adalah dua pribumi yang terapaut latar dan waktu yang jauh berbeda. Nyai Ontosoroh hidup di mana pendidikan dan kemerdekaan atas hak diri sendiri dirampas sementara Maudy Ayunda merdeka dari segalanya.