Akhirnya sampai juga di Rue de Dunkerque. Nampaknya Marc dan Daphne belum tiba. Aku menyelesaikan transaksi Uber terlebih dahulu, lalu segera keluar dari badan Skoda Octavia Combi itu. Satu tas ransel besar warna biru tua ukuran 50 liter dan satu tas ransel merah ukuran 30 liter aku ambil dari area bagasi mobil. Aku letakkan di trotoar begitu saja.
Sore itu jam 15.30. Cuaca Paris lumayan cerah. Sesekali awan mendung datang tetapi tidak membawa setetes pun air hujan. Tidak begitu banyak lalu lalang orang di trotoar. Driver Uber tadi berkata kalau semalam hujan turun cukup deras.
Aku mengambil ponselku dari tas pinggangku dan menekan nomor ponsel Marc. Nada sambung saja, dan ini sudah ketiga kalinya. Sepanjang perjalanan singkatku dari stasiun Gard du Nord ke sini tadi sudah dua kali aku meneleponnya namun tidak ada respon. Akhirnya aku mengirim pesan singkat via Whatsapp kalau aku sudah berdiri di titik pertemuan.
Kira-kira sepulu menit kemudian, sebuah mobil Citroen C4 melaju kencang dari Rue la Fayatte dan seketika membelok ke kanan dengan tajam, masuk ke Rue de Dunkerque, menuju ke arahku. Dari jendela depan sisi kanan yang terbuka, sebuah lengan kanan berselimut sweater berwarna kuning cerah melambai-lambai ke arahku. Ah, itu dia si Marc.
Ia segera turun dari mobil itu dan menurunkan tas ranselnya dari kursi belakang. Ada Daphne di sana. Akhirnya ia memutuskan ikut. Daphne adalah kekasih Marc. Gadis asal Lyon itu sangat tergila-gila dengan Marc. Entah apa yang ia suka dari pria Dreux yang berperawakan ceking, berambut pirang tipis dan punya kebisaan suka menggaruk-garuk wajahnya itu.
Sehari-hari Marc adalah pekerja independen. Bisa dibilang ia seorang digital nomaden. Ia bekerja sebagai anggota tim developer sebuah aplikasi bisnis dari Amerika. Selain itu ia juga seorang penulis yang menulis untuk sejumlah media lokal di Paris.
Sedangkan Daphne adalah staf di sebuah perusahaan farmasi yang sedang berkembang di kota Dreux, kota kecil yang tidak begitu jauh dari Paris.
Aku bertemu dengan mereka pertama kali di sebuah warung makan di Denpasar, kira-kira tiga tahun lalu. Waktu itu aku sedang liburan di Bali bersama beberapa sepupuku. Kami sedang menikmati makan siang di warung makan itu. Marc dan Daphne kebetulan duduk di sebelah kursiku.
Aku ingat Marc dan Daphne membelalakkan kedua matanya setelah mencicipi sepotong daging ayam betutu super pedas. Spontan aku tertawa melihat ekspresi dua orang bule yang sedang kepedasan itu. Lucu sekali dua bule ini, pikirku waktu itu. Tidak lama kami pun saling bertegur sapa dan berkenalan. Hari demi hari kami sering bertemu dan semakin mengenal satu sama lain.
"Hey, Dirgantara my bro..! Akhirnya kita bertemu lagi. Jam berapa dari London?" tanya Marc agak terengah karena menenteng dua ranselnya yang cukup berat ke arah trotoar dan meletakkannya di sebelah kedua tas ranselku.