Di tengah sepinya solois pria Indonesia, musisi Pamungkas meramaikan ranah musik tanah air dengan album "Walk the Talk". Album ini mengusung genre pop alternatif / folk pop dengan cita rasa British music. Album debut penyanyi asal Jakarta ini diproduksi secara independen oleh Pam Record.
Sekedar informasi sebenarnya album ini pernah dirilis pada Maret 2017 lalu. Album versi pertama itu berisi sepuluh lagu saja. Nah, di tahun 2018 ini, album ini diperkaya dengan enam lagu baru. Tetapi judul albumnya tetap sama. Jadi album versi kedua di tahun 2018 ini adalah semacam update dari album versi pertama.
Kadang ada musisi yang merilis deluxe version atau special edition dari album utama. Album "Walk the Talk" versi terbaru ini tidak demikian. Meski merupakan pembaruan album sebelumnya, cover albumnya didesain ulang. Desain baru album ini terasa lebih segar dan lumayan punya daya tarik meski bukan wajah sang artis. Tapi cover album musik tidak perlu melulu menampilkan foto sang artis. Justru yang lebih penting adalah musikalitasnya.
Album ini terasa personal, berbagi cerita tentang proses pendewasaan diri. Oleh karena itu album dipenuhi dengan lagu-lagu yang sarat dengan kisah kesendirian atau sedang dilanda berbagai problematika kehidupan. Dari semua proses hidup itu yang paling penting adalah bagaimana agar kita menjalaninya. Sebagaimana kalimat "walk the talk" yang bermakna melakukan apa yang dibicarakan.
Boleh jadi Pams, demikian ia disapa, terinspirasi dengan Rendy Pandugo yang lumayan sukses dengan "The Journey" atau Adhitia Sofyan yang kini sudah punya tiga album LP dan dua album EP. Sama dengan dua solois pria tersebut, mayoritas lagu-lagu dalam album dibuat dalam bahasa Inggris dengan maksud agar musiknya bisa diterima di pasar global. Album "Walk the Talk" hanya memuat tiga lagu berbahasa Indonesia yaitu "Kenangan Manis", "Jejak" dan "Monolog".
Sedikit cerita tentang Pamungkas , yang bernama asli Rizky Pamungkas, ia bukan orang baru di dunia musik meski "Walk the Talk" adalah album studionya yang pertama. Ia pernah bergabung dengan band Potenzio di tahun 2009 dimana band ini pernah merilis album berjudul "Jingga" dan satu tunggalan berjudul "Twitter Dunia".
Album perdana Pamungkas ini boleh dibilang album idealnya dan terasa personal karena semua hal ia kerjakan sendiri. Mulai penulisan lirik, proses mixing, mastering hingga presentasi visual ia garap secara mandiri. Musisi yang menimba ilmu Desain Komunikasi Visual di salah satu universitas di Jakarta ini bisa sekaligus menerapkan ilmu yang telah ia pelajari dipadukan dengan passion-nya. Hasilnya, "Walk the Talk" adalah sebuah album bagus yang layak dinikmati.
Album "Walk the Talk" adalah ungkapan hati yang serius, tanpa hingar bingar, tapi juga tidak mellow-mellow amat, berlirik penuh makna yang tidak melulu menggambarkan cinta dengan keriangan ataupun kegalauan dengan kesedihan. Kalau disandingkan dengan musik Indonesia yang hit saat ini atau mainstream, album ini jelas berbeda.
Dengan mengusung aliran British music yang belum banyak dieksplorasi musisi tanah air, penikmatnya mungkin akan tersegmentasi. Album ini sendiri kaya aroma musisi-musisi lain yang menjadi idola Pamungkas antara lain The Beatles, Beach Boys, Bob Dylan dan John Mayer. Tapi jika mendengar teknik vokalnya, terasa ada sentuhan Jamie Cullum, musisi jazz Inggris.
Album ini menurut saya terasa maskulin yang memandang cinta dan masalah hidup dari kacamata pria. Rasanya sudah kerap mendengar banyak hal tentang cinta atau kegalauan dari sisi feminin, maka mendengar album ini bagi para pria, khususnya penikmat musik berusia 20an tahun hingga awal 30an tahun, rasanya bagai menemukan kolam penuh air segar di padang gersang.
Album diawali dengan intro album singkat 47 detik yang diberi judul "Intro I". Lagu ini tentang menjadi sendiri adalah oke-oke saja selama itu membuat kita bahagia. Lagu pembuka album ini terasa menenangkan dengan elemen cuitan burung-burung yang menemani kita untuk segera bersiap mendengarkan track-track berikutnya hingga akhir album.