Pandangan Semathya seketika redup dan perlahan gelap.Pukulandan tendangan keras tanpa ampun berkali-kali mendarat di kepala dan tubuhnya.Ia masih berdiri walau terhuyung-huyung sebelum pukulan cepat nan keras mendarat di pipi kirinya. Keseimbangannya goyah, membuat tubuh kurusnya runtuh. Punggungnya menghunjam dek beton di tingkat kelimaproyek perkantoran yang lama mangkrak di kota Medan itu.
Ia telentang menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Dadanya terasa sesak, pandangannya suram.Pusing hebat menjalari kepalanya, tanda pendarahan di dalam kepala. Tapi ia masih sadar. Matanya bengkak terlumuri darah segar tapi masih dapat membuka perlahan. Pandangannya agak kabur.Ia merasa akan habis. Ia melihat lawannya mendekat ke arahnya dan mengangsurkan lengan kanannya. Semathya perlahan memberikan tangan kanannya.Sang lawan menyahut tangannya cepat dan menggenggamnya erat. Alih-alih akan menarik dirinya bangkit, Semathya justru terlambat menyadari kalau lawannya kini menyeret tubuhnya ke ujung dek. Semathya yang sudah hampir pupus tenaga mengerang lirih ketika tubuhnya diseret oleh seseorang yang tubuhnya lebih besar dan lebih kuat yang kini bersiap hendak melemparnya. Semathya yang sudah berdarah-darah tidak mampu melawan.
Tak lama tubuhnya melayang sejenak di udara.dan segera meluncur deras ke bawah bersiap menghunjam tanah. Semathya menutup mata. Bayangan Andini, istrinya dan Romandika, anaknya, nampak jelas sebentar di kegelapan pandangannya. Tubuhnya melayang menghadap bumi.Ia merasakan desir angin di kulitnya yang makin cepat. Nafasnya yang memburu, tertahan sekian detik sebelum tubuhnya menyentuh bumi dengan keras.
Semathya tergeletak tak bergerak.
Sepuluh tahun sebelumnya
Semathya bersiap diri untuk mengikuti kejuaraan nasional Mixed Martial Arts 2004 - kejuaraan bela diri campuran - yang diadakan di kota Medan. Ia berjalan keluar dari kamar hotel Raya dengan langkah tegap dan percaya diri. Tangan kanannya memegang tas travel jinjing yang berisi kostum, perlengkapan dan kebutuhan selama pertandingan. Ia segera masuk lift menuju lobby hotel dan bergabung dengan rekan-rekan seperguruan Buana Martial Medan. Mobil minibus sudah siap mengantar ke gedung serbaguna Universitas Negeri Medan, tempat kejuaraan MMA 2004 dilangsungkan.
Minibus berjalan dengan kecepatan sedang menembus kota Medan yang sudah padat di kala pagi. Suasana dingin.Bukan karena AC mobil yang kencang menghembus, melainkan tiada percakapan diantara mereka.Tidak sepatah katapun muncul tentang syukuran di malam sebelumnya dimana di nomor eksibisi junior, perguruan mereka menjadi juara. Pun tidak ada yang menikmati pemandangan kota Medan. Benak masing-masing orang mungkin dipenuhi oleh spirit untuk menang karena hanya ada satu orang yang akan mewakili kejuaraan internasional MMA tahun 2005 di Tokyo, Jepang. Masing-masing fokus pada pertandingan yang akan dimulai dua jam lagi.
Kecuali Semathya yang duduk di jok paling belakang di sisi paling kanan.Ia masih sibuk dengan gawai Tetris-nya. Ia terlihat tenang, Padahal ia akan maju di partai pembuka melawan peserta dari klub Praja Medan yang dikenal tangkas dan tangguh. Semathya sudah dikenal dengan baik oleh pelatihnya, Oleg, yang membiarkannya melakukan apa saja asal membuat dirinya santai setiap sebelum bertanding. Oleg yang duduk di bangku sebelah supir menoleh ke kursi Semathya.Ia merasa tenang jika Semathya tenang.
Mobil sudah sampai di pelataran parkir gedung.Semua peserta sudah tiba dan para pelatih dan ofisial klub nampak sibuk mondar-mandir mengurus segala keperluan.Kejuaraan nasional MMA tahun itu menjadi yang terakbar di Indonesia sejak digelar tahun 2000. Lebih dari lima puluh klub ambil bagian. Olahraga MMA memang sedang naik daun dan tidak sedikit para pendekar silat, judoka atau karateka yang tidak begitu sukses berprestasi beralih ke MMA dan merengkuh gelar. Termasuk Semathya yang mempelajari karate, pencak silat, gulat dan tinju sejak usia belia.
Semathya sudah berganti kostum. Tapi ia masih meraih gawai Tetris-nya dan duduk di ujung arena. Oleg menyampaikan briefing dengan suara rendah, khawatir didengar oleh pihak lawan.Di pundak Semathya beban berada.Pemegang belasan gelar MMA antar klub di Medan ini hampir tak terkalahkan. Oleg, WNI keturunan Rusia itu sudah tiga tahun melatih pemuda dua puluh tiga tahun ini dan ia sudah tahu Semathya bakal bersinar sejak hari pertama ia memasuki pintu gelanggang klub. Bahkan, Oleg sudah menganggap Semathya sebagai anaknya sendiri saking dekatnya hubungan mereka.
Wasit mulai bersiap di ujung sana. Ia sesekali berbicara lewat ponselnya namun ketika tiba waktu pertandingan, sang wasit mulai menempati posisi. Termasuk para penonton di tribun yang sebagian adalah kaum hawa pemuja Semathya yang meneriakkan namanya riuh.Semathya tidak terpengaruh dengan semua itu.Ia menganggap hal itu sebagai konsekuensi popularitas. Semathya memang digadang-gadang bakal juara di kejuaraan nasional pertamanya dengan bekal sapu bersih dua belas gelar kejuaraan antar klub sebelumnya.Namanya mulai merekah di beberapa media massa Sumatera Utara, membuatnya menjadi selebritas lokal yang kerap dibicarakan.
Nama Semathya digaungkan oleh wasit lewat mikrofon portabel di kerah bajunya untuk masuk ke arena. Begitu pula nama lawannya, Fakhi, dari klub Jagat Bumi Medan. Wasit memulai pertandingan.Semathya bersiaga melihat setiap gerakan mata dan fisik lawan.Ia menjaga footwork-nya. Di setiap pertandingan, iatidak pernah memandang remeh lawan tandingnya, termasuk Fakhi yang juga baru kali ini bertanding di tingkat nasional.
Pada menit-menit awal, beberapa pukulan cross dan uppercut lawan sukses membuatnya kewalahan dan beberapa tendangan push kick dan round kick sempat membuatnya terjatuh. Sempat terkunci pada posisi backmount, namun berkat pengalamannya bertanding, Semathya mampu berkelit dan membuka kuncian dengan memelintir lengan lawannya.
Pertandingan Semathya - Fakhi baru berjalan lima menit namun sudah demikian menegangkan karena nampaknya Fakhi bisa mengimbangi serangan-serangan Semathya. Namun lambat laun, Semathya bisa membaca permainan Fakhi dengan gerakan-gerakan bertahan yang menghindarinya dari pukulan melintang dan membalas dengan variasi pukulan-pukulan dan tendangan sporadis yang berkali-kali membuat lawannya terjatuh.
Hingga akhirnya di menit ketujuh, terbuka kesempatan untuk Semathya melakukan backmount telak dengan menjatuhkan Fakhi, mengunci pinggangnya dengan kedua kakinya dan mengunci lehernya dengan lengan kanannya selama beberapa waktu.Fakhi menggeliat sekuat tenaga berusaha membuka kuncian Semathya. Wasit sudah nampak bersiap hendak menghitung mundur namun begitu Fakhi menggerakkan kedua kakinya dan mengangkat pantatnya, wasit menghentikan hitungannya.Upaya lawannya itu membuat Semathya mengeratkan kunciannya sekuat tenaga.Ia berharap bisa segera menyelesaikan pertandingan babak pertama ini dengan cepat. Nafasnya memburu kencang, keringat bermunculan deras dari pori-pori kulit tubuhnya.Ia memejamkan matanya kuat-kuat demi mengontrol kunciannya, hingga kepalanya ditampar oleh wasit beberapa kali, membuatnya kaget, membuat kontrolnya mengendor dan kunciannya terbuka. Ia melepaskan kedua tangannya dan cepat-cepat bangkit dari posisinya, mundur menghindar dari tamparan wasit. Namun Wasit masih menamparnya dua tiga kali sebelum berteriak keras di telinga kanannya, "Hei, apa yang kamu lakukan!? Bodoh kamu!! Lihat lawanmu!!!"
Sesaat ia merasa bingung dengan situasi tersebut hingga ia melihat tubuh di depannya, tubuh lawannya, telentang tidak bergerak. Mata Fakhi terbuka menatap atap arena.Wajahnya kebiruan.Segera suasana mendadak menjadi sunyi dan membingungkan.Semua penonton terperangah.Pelatih Fakhi berteriak keras mendekati tubuh Fakhi. Lalu beberapa perempuan di tribun berteriak histeris.Oleg cepat-cepat menggamit lengan Semathya yang masih kebingungan, dan dengan bantuan salah seorang panitia, menariknya keluar dari arena menuju mobil.
Mesin mobil minibus itu menghentak keras dan meluncur kencang ke markas klub Buana Martial. Oleg tidak berbicara satu patah katapun sepanjang perjalanan. Ponselnya terus berdering namun tidak ia hiraukan. Sampai di markas klub, Oleg beberapa kali berbicara lewat ponselnya dengan suara keras di balik pintu ruang kerjanya, meninggalkan Semathya di ruang itu,masih nampak bingung tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya duduk diam di ruang kantor Oleg.
Lalu semuanya menjadi jelas. Fakhi tewas di arena pertandingan. Oleg marah besar, menamparnya tidak hanya sekali dua, bahkan menendang kursinya, membuatnya tersungkur. Semathya merangkak hendak berdiri, namun ia tersungkur lagi dengan tendangan push kick di perutnya dari sang pelatih yang sudah ia anggap sebagai ayahnya.
Lalu Semathya seakan menjadi terdakwa.Ia merasa ia adalah seorang pembunuh. Tangisnya meledak memecah ruangan, lalu ia mendekap kedua kaki Oleg memohon ampun, tapi Oleg masih menamparnya sekali lagi hingga Semathya bersimpuh di kaki pelatihnya.
Hari berikutnya, insiden itu menjadi cover story sejumlah media massa nasional.
***
Sepuluh tahun berlalu. Semathya yang telah tiga puluh tiga tahun usianya, sedang duduk di meja kerjanya sebagai staf administrasi sebuah kantor yayasan di bidang pendidikan di pinggiran kota Medan. Sudah sekian lamanya ia bekerja di kantor yayasan itu meski tidak berupah besar. Istrinya, Andini bekerja sebagai guru sekolah swasta di kota Medan dan Romandika baru beberapa bulan ini mengecap bangku Sekolah Dasar.
Sudah lama ia menjalani pekerjaan rutin kantoran itu dengan hari kerja Senin hingga Sabtu. Mantan jawara MMA itu kini bertubuh ceking, jauh berbeda dengan ketika muda dulu.Sejak peristiwa tahun 2004 itu, ia memilih untuk berhenti menjadi atlet MMA dan menjalani kehidupan seperti orang lain pada umumnya. Ia melanjutkan kuliahnya yang sempat terputus sejak fokus menjadi atlet, hingga meraih gelar Sarjana. Ia juga menikah dengan teman kuliahnya dan dikaruniai seorang putra yang cerdas yang tidak sekalipun ia kenalkan dengan olahraga yang pernah ia tekuni dulu.
Sebenarnya tidak ada terdakwa dalam insiden tahun 2004 tersebut. Pun tidak ada upaya hukum apapun dari pihak klub Fakhi maupun keluarganya. Semuanya murni kecelakaan yang tidak disengaja.Dari hasil pemeriksaan dokter RSUD Medan, ketika bertanding Fakhi mengalami serangan asma mendadak.Belitan Semathya yang kuat pada posisi backmount secara teori masih memungkinkan untuk dibuka.Namun karena serangan asma, semuanya menjadi fatal. Fakhi kehabisan oksigen di paru-parunya dan membuatnya tewas. Menurut dokter waktu itu, bisa jadi Fakhi mengalami kelelahan yang luar biasa karena malam sebelum pertandingan ia berlatih keras. Bisa juga ia mengalami kecemasan hebat karena pertandingan itu adalah pertandingan tingkat nasional pertamanya. Semua dugaan diajukan namun tidak satu pun dapat memutar waktu.Fakhi sudah tiada.
Tengah malam di pertengahan Desember 2014, ponsel Semathya berdering berkali-kali. Semathya dihubungi oleh seorang pria yang mengatakan hendak membeli motor bebek yang akan ia jual. Dalam keadaan masih menahan kantuk, Semathya sepakat bertemu dengan orang di seberang telepon di sebuah rumah di kawasan jalan Nusa Jaya.Nampaknya pria yang mengaku bernama Toni itu serius hendak membeli motor meski berbekal foto-foto motornya dan sejumlah spesifikasi motor yang ia posting-kandi Forum Jual Beli Kaskus. Pria itu menjanjikan uang tunai asalkan Semathya mengirimkan motornya ke rumahnya. Semathya memang berniat menjual motor bebeknya yang selama ini menemaninya. Ia akan membeli motor baru secara kredit. Hasil penjualan motornya akan menjadi uang muka motor baru sehingga cukup membantu memperkecil nilai cicilan per bulannya.
Keesokan harinya sepulang kantor, ia menuju kawasan Nusa Jaya. Lepas Maghrib, jalan itu seperti kota mati. Sesekali lewat satu dua mobil namun tak tampak satu pun orang berjalan kaki. Semathya dihinggapi kekhawatiran kalau-kalau calon pembeli motornya ini seorang penipu. Namun ia menepis jauh kekhawatiran itu karena ia ingin sesegera mungkin menjual motornya malam ini juga. Ia bahkan sudah menyimpan nomor telepon taksi di ponselnya. Jika memang ia menerima pembayaran tunai, ia akan menyerahkan motor dan surat-suratnya saat itu juga dan pulang ke rumah menggunakan taksi.
Rumah yang ia tuju terlihat megah namun suram. Lampu teras rumah menyala temaram. Dari luar ia bisa melihat nyala lampu di ruang tamu, rumah ini berpenghuni. Pagar besi berkarat, namun terlihat masih kokoh.Pintu garasi dari kayu bercat coklat di ujung carport nampak hampir lepas dari engselnya yang berkarat.Tanaman-tanaman liar tumbuh dimana-mana. Daun-daun kering pohon bambu yang tumbuh di pojok sana bertebaran di tanah bahkan hingga di teras rumah. Semathya melihat catatannya sekali lagi.Benar, rumah nomor 55.Ini rumah yang ia tuju.
Nampaknya kedatangannya sudah ditunggu oleh penghuni rumah. Mungkin ia telah mendengar deru motornya yang kemudian mati di luar pagar rumahnya. Ia membuka pintu rumah dari dalam dengan kasar. Ia seorang pria bertubuh besar dan gempal. Langkah kakinya menderap berat menekan carport cor yang lapisannya telah mengelupas di sana sini. Rambutnya cepak. Raut wajahnya menunjukkan gurat tidak ramah… Bahkan gurat kebencian.Seakan menderita banyak luka batin kronis yang berkumpul menjadi satu.
Mereka bercakap-cakap sebentar dan tak lama gerbang rumah dibuka dan pria itu mempersilakan Semathya masuk dengan suara berat. Semathya tersenyum, walau pria itu tidak memberinya senyum.Sejenak, Semathya merasa ragu. Namun ia masih ingat semua pelajaran beberapa ilmu bela diri yang dulu pernah ditekuninya. Jika terjadi apa-apa, ia dengan terpaksa akan mengeluarkan ilmunya untuk membela diri. Semathya menuntun motornya masuk ke carport yang sepertinya lama tidak digunakan.Ia meletakkan jaketnya di setang motor dan bersiap masuk ke rumah. Toni, pria itu, sudah berdiri di ruang tamu, meminta Semathya duduk sementara ia masuk ke dalam hendak mengambil uang.
Semathya menunggu dalam keheningan.Ruang tamu itu terbilang sederhana, diisi dengan sejumlah perabotan kuno.Ia duduk di sofa kuno berlapis beludru warna biru yang lusuh. Mungkin rumah ini rumah peninggalan keluarganya.Sepertinya pria itu hidup sendiri di rumah ini. Tidak terdengar suara orang lain di rumah ini.
Semathya melihat-lihat dinding ruang tamu yang penuh dengan foto-foto keluarga. Pandangannya memindai dinding hingga ia memutar kepalanya ke arah dinding di belakang tubuhnya. Ia tertarik untuk melihat foto-foto yang nampak rapi berjajar di dinding itu. Semathya bangkit dan membalikkan badannya menatap deretan foto-foto. Satu per satu foto-foto itu ia amati… Hingga pada satu foto ia merasa terkejut dengan foto wajah yang pernah mengisi memori di kepalanya di waktu lampau. Fakhi…? Itu wajah Fakhi…? Ya, itu Fakhi, lawan tandingnya di pertandingan MMA nasional sepuluh tahun lalu dimana Fakhi tewas di tengah pertandingan ketika berhadapan dengannya.
Tiba-tiba Semathya merasakan benda keras memukul tengkuknya. Praakkk… Ia roboh seketika. Dunia di depan mata Semathya seakan sirna beberapa saat lamanya. Ia meraba tengkuknya dan terjatuh di lantai. Semathya merasakan pandangannya berputar dan tak lama ia tak sadarkan diri .Pria itu lalu membuang kayu itu ke lantai dan kembali masuk.
***
Semathya lamat-lamat mendengar hiruk pikuk orang di sekitarnya.Ia perlahan membuka matanya yang agak terhambat dengan darah yang mengering di sana. Ia menyadari tubuhnya berada di atas pasir dengan posisi miring mengikuti lereng gundukan pasir. Kepalanya berada lebih rendah dari kakinya.
Ia ingat saat tubuhnya dilempar oleh pria itu. Ia ingat saat tubuhnya menghunjam deras ke arah tanah. Tubuhnya memang menghantam Bumi, namun di atas gundukan pasir di areal proyek yang mangkrak itu.Tidak lama, Semathya pingsan kembali sesaat sebelum beberapa orang mendekatinya dan ramai-ramai meraih tubuhnya yang lemas dan membopongnya.
***
Sudah dua minggu ini Semathya dirawat di Rumah Sakit Mitra Medika Medan. Nampaknya beberapa hari lagi ia akan segera pulang ke rumah dan kembali dengan kehidupannya. Beruntung ia dapat kembali pulih setelah menjalani perawatan intensif. Dengan beberapa kali rawat jalan, dokter yakin Semathya akan sehat kembali. Selama di rumah sakit, Andini dengan setia mendampinginya bergantian dengan kerabat Semathya. Selama dirawat, ia juga sempat dijenguk oleh Oleg, mantan pelatihnya ketika ia masih aktif menekuni MMA dan sejumlah kawan berlatihnya dulu. Hal itu mempertebal semangatnya untuk sembuh.
Pria yang menyerang Semathya adalah adik kandung Fakhi bernama Rifki, alias Toni,yang merasa dendam dengan kejadian tahun 2004.Ia merasa sangat kehilangan kakaknya yang merupakan sosok yang paling dekat dengannya. Adik Fakhi - dulu masih duduk di bangku SMP- melihat kejadian tersebut.Nampaknya kejadian itu terekam jelas di kepalanya dan meninggalkan dendam. Hal itu diperparah dengan meninggalnya sang ayah di tahun 2006 dan sang ibu di tahun 2008 saat ia masih bersekolah. Kondisi psikologis Rifki juga diperparah dengan perceraiannya dengan istrinya di tahun 2013 dimana ia hampir saja membunuh bayinya yang baru lahir. Rifki kini sudah masuk tahanan dan akan menjalani sidang beberapa hari mendatang.
Semathya sejatinya merasa trauma dengan kejadian yang ia alami. Namun ia merasa bersyukur dirinya akan kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya. Semathya dan Andini membuat rencana akan pindah ke Semarang, daerah asal Andini. Mereka tidak ingin kebahagiaan mereka terenggut lagi di masa depan. Mulai pertengahan Maret 2015 nanti, setelah beberapa kali rawat jalan dan bersaksi dalam sidang, mereka akan bertolak ke Semarang dan memulai hidup baru di sana bersama putra tersayang Romandika.
Surabaya, 21-22 Maret 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H