Entah untuk yang ke berapa ribu kali terulang. Raja Ephyra, Sisyphus kembali mendorong batu besar yang sama itu ke atas bukit. Tangannya yang berotot bergetar mendorong batu besar di depannya. Keringat mengalir bagaikan anak sungai yang diciptakan Dewa Sungai Asopus di kening dan pipi Sisyphus. Kakinya berusaha melangkah tertatih walau kadang terpeleset hingga tumitnya memerah. Namun demikian, tak ada sedikitpun terpancar keinginan menyerah di wajahnya. Sisyphus berdarah darah, tetapi tetap terus mendorong batu besar itu ke atas bukit, walau pada akhirnya sia sia. Karna sesampainya dipuncak bukit , batu itu akan meluncur kembali ke bawah. Sisyphus terobsesi, ambisinya yang besar untuk membawa batu itu ke atas bukit membuatnya berlari mengejar batu itu untuk didorong kembali ke atas bukit.
Ambisinya itulah yang membuat Sisyphus tak lelah. Beribu ribu kali mendorong dan mendorong batu besar itu kembali ke atas bukit. Ya. Zeus telah mengutuk Sisyphus, seorang raja besar dari kerajaan Ephyra dengan kutukan yang membuatnya memiliki ambisi untuk selalu mendorong batu besar ke atas bukit, walau tiap kali sampai di puncak, batu itu akan segera menggelinding ke bawah kembali.
Dalam mitologi Yunani, sosok Sisyphus bukanlah tokoh yang asing. Ia awalnya adalah raja di Ephyra yang sangat cerdas, cerdik bahkan cenderung licik. Dan kecerdikannya kerap digunakan untuk hal yang kurang bijaksana. Suatu ketika, Sisyphus membuat Zeus sangat marah, karna ia berani membocorkan rahasia Dewa Zeus yang tak pantas kepada Dewa Asopus, dengan imbalan supaya diberi pengairan yang subur bagi kerajaannya. Bahkan dengan kecerdikannya, Sisyphus berhasil merantai Dewa kematian Thanatos yang sedianya diperintahkan menangkap Sisyphus dan merantainya. Setelah apa yang dilakukan Sisyphus telah dianggap melampaui batas, Zeus murka. Dengan segenap kewenangannya, ia menjebloskan Sisyphus ke neraka, dan mengutuknya menjadi pendorong batu besar ke atas bukit lagi dan lagi.
Kita adalah Sisyphus?
Kita mungkin sebenarnya juga adalah Sisyphus. Ketidak pernah puasnya kita boleh jadi adalah kutukan Zeus seperti yang ditimpakan kepada Sisyphus. Pernahkah kita menyadari, bahwa setiap hal yang kita raih dan miliki, tidak pernah membawa kita pada kata selesai dan puas?
Setiap Goal yang telah kita capai melalui perjuangan yang berat dan terjal tidak akan pernah membuat kita berhenti ketika kita memandang ada yang lebih baik di luar sana menurut pandangan kita. Pada titik ini, kita akan selalu kembali mempersiapkan perjuangan baru untuk mencapai goal yang baru. Begitu terus dan terus. Kita selalu insecure dengan apapun yang kita telah raih. Dan berusaha berjuang mencapai hal lain yang kita anggap lebih baik itu. Oleh karenanya seberapapun kekayaan seseorang, tidak akan membuatnya berhenti dan merasa selesai.
Wolter Robert van Hovell, seorang prosais Belanda di sekitar abad ke-19 pernah menceritakan alegori ketidakpuasan manusia secara satir dalam cerita pendek berjudul Japanse Steenhower (Pemecah Batu Jepang). Cerita pendek ini terbit pertama kali dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi (Jurnal Hindia Belanda), majalah yang didirikan oleh Hovell sendiri dengan tujuan menyampaikan gagasan dan tujuan moral politiknya
Sedikit cerita dari cerpen Japanse Steenhower adalah dimana ada seorang Jepang yang bekerja sebagai kuli pemecah batu. Sebenarnya ia adalah seorang pekerja keras dan giat. Namun suatu hari, ia dihinggapi rasa bosan dan jenuh dengan pekerjaan rendahnya. Ia sangat ingin hidupnya berubah. Menjadi orang kaya dan santai tanpa perlu bekerja keras.
Pada suatu ketika, Dalam permohonannya yang mendalam, malaikat mendengar dan mengabulkan keinginannya untuk menjadi orang kaya. Dalam keajaiban, iapun menjadi orang kaya yang santai. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai bosan dan tidak puas dengan kekayaannya. Lalu seorang raja lewat di jalan depan rumahnya lengkap dengan pengawal dan berpayung emas. Lantas iapun mandaraskan permohonan untuk bisa menjadi raja itu. Lalu malaikat yang samapun kembali mengabulkan keinginannya.
Namun suatu ketika, pemecah batu yang sudah menjadi raja itu kecewa dengan payung emasnya yang tak mampu melindunginya dari panas teriknya matahari. Sambil merenung iapun berfikir alangkah hebat dan berkuasanya bila ia menjadi matahari yang tentu tak akan ada yang mampu menghalanginya termasuk seorang raja. Iapun kembali mengeluh dan ingin menjadi matahari. Setelah menjadi matahari segumpal awan lewat menghalangi sinarnya dan ia mengeluh lagi. Ia ingin jadi awan. Awan menjadi hujan besar, hujan besar jadi banjir yang memporak-porandakan semua benda di muka bumi, kecuali sebongkah batu. Dan secercah awan itu jengkel karena lagi-lagi kekuasaannya ternyata begitu terbatas. Ia kemudian ingin jadi batu.
Ketika ia telah menjadi batu, seorang lelaki kekar datang membawa beliung. Si batu akhirnya sadar, bahwa sesungguhnya seorang pemecah batu adalah sosok yang punya secuil kuasa, setidaknya pada sebongkah batu yang keras dan ngotot. Untuk terakhir kalinya ia meminta, ingin dikembalikan wujudnya menjadi pemecah batu.