Siapa yang belum pernah mendengar kata-kata seperti slebew, bestie, jamet atau pargoy? Paling tidak semua pengguna medsos pasti tahu kata kata itu, Entah itu bagi yang berasal dari Sumatra, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi bahkan Papua.
Kata-kata seperti slebew, pargoy, jamet dan lain sejenisnya mungkin sekilas hanya terlihat sebagai kata-kata gaul yang biasa muncul di tiap jaman tertentu seperti kata prokem, bokis, cembokur, ogut dan seterusnya yang populer pada era 90an. Namun berbeda dengan bahas gaul di era-era sebelumnya yaitu hanya sebatas bahasa "gaul" dan biasanya digunakan dalam pergaulan tertentu saja, istilah semacam slebew,bestie, jamet atau pargoy ini tidak sebatas kata-kata atau bahasa gaul semata, namun membawa narasi budaya baru, gaya dan tren tertentu yang melekat pada istilah tersebut.
Daya jangkau penyebaran gaya atau tren ini mampu menembus hingga ke pelosok tanah air akibat kemajuan teknologi digital belakangan ini. Kemajuan teknologi digital mampu menciptakan media baru melalui beragam aplikasi dalam menyebarkan tren atau "budaya" hasil kreativitas konten kreator yang dilegitimasi oleh selera netizen.
Sekali lagi, bukan editor, lembaga sensor atau produser besar yang berperan besar dalam tranformasi budaya ala netizen di atas, tapi aplikasi-aplikasi media sosial yang berbasis teknologi digital. Tak ada sekat, tak peduli jarak.
Dengan perkembangan teknologi digital, baik secara infrastruktur hardware maupun cepatnya laju perkembangan berbagai software aplikasi, kita sudah semestinya menyadari, bahwa kita sedang berada di ambang perubahan. Bayangkan, pengguna internet di dunia hampir menembus 5 miliar orang pada tahun 2022 dengan 210 juta orang diantaranya berasal dari Indonesia (Data Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2022) dan seiring perjalanan waktu pasti akan semakin meningkat. Hal ini tentu akan menjadi sebuah titik pijak baru lahirnya revolusi informasi dan budaya.
Perkembangan kemajuan teknologi digital saat ini bisa dikatakan sebagai gelombang era Gutenberg ke dua. Pada pertengahan abad ke-15 atau sekitar tahun 1450, ketika Johanness Gutenberg berhasil menyempurnakan mesin cetaknya, terjadilah kejutan revolusi kehidupan. Dari yang semula lamban, menjadi dinamis. Pada era Gutenberg ini, muncul cara baru orang berkomunikasi , dari yang lisan dan tatap muka, menjadi massa dengan munculnya buku-buku dan surat kabar. Kemudahan mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan ini yang pada akhirnya bisa membawa Eropa menuju the lightness era dari the darkness (era kegelapan).
Pencetakan buku buku dan media massa ketika itu menjadi sumber kekuatan pendorong dalam berbagai peristiwa sejarah. Dilatarbelakangi efektivitas waktu dan biaya dalam mengcopy ratusan bahkan ribuan manuskrip dengan terciptanya mesin cetak, maka produksi dan dan distribusi informasi dan ilmu pengetahuan dapat dilakukan secara masif sangat berpengaruh penting terhadap perkembangan zaman bahkan secara tidak langsung memberi dorongan besar terhadap gerakan Renaisans di Eropa.
Gelombang era Gutenberg ke dua saat ini juga membuat dunia mengalami kejut perubahan, dimana yang paling mendasar adalah sama dengan era Gutenberg pertama, yaitu perubahan dalam pola komunikasi dan pola distribusi informasi. Dimana saat ini orang tidak lagi melakukan aktivitas sosial berbasis tatap muka tetapi sudah melalui digital network, bahkan interaksi virtual seperti pada teknologi metaverse yang memungkinkan setiap orang bisa bersosialisasi dengan bebas tanpa batas.
Selain menyentuh pengguna pribadi, di Indonesia, perkembangan teknologi digital saat ini juga menyentuh sektor sektor lainnya di antaranya sektor pelayanan publik. Beragam aplikasi begitu mudah dibuat dalam rangka fungsi pendistribusian informasi serta memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Sebut saja beberapa aplikasi seperti e Government dan Sistem Informasi Desa (SID). Bahkan di Indonesia, seluruh jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah berlomba-lomba melakukan inovasi menciptakan beragam aplikasi yang berkaitan dengan aspek pelayanan publik di daerahnya guna meningkatkan kapabilitasnya.
Namun demikian, kita juga tampaknya harus sepakat bahwa arus digitalisasi yang sudah menjadi keniscahyaan di masa kini bahkan di masa depan ini, membawa pergeseran bentuk literasi dari media cetak maupun audio video konvensional. Konsep literasi yang berbasis media cetak telah bertransformasi menjadi media digital yang berada di genggaman tangan tentu juga disadari atau tidak akan membawa pergeseran dan perubahan baik budaya maupun cara berpikir dan perilaku masyarakat.
Beragam informasi kini sangat mudah tersebar ke tiap orang dalam hitungan detik. Bahkan tanpa sensor yang berarti di setiap media sosial. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri dari gerak perubahan budaya masyarakat yang makin tanpa sekat.