Lihat ke Halaman Asli

Matahari Merah

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

nun jauh di tepian Asia, tempat tropis nan mempesona. di negara bernama Asian Equator yang multietnik, negara makmur yang ditipu zaman. Senantiasa mengeluh dan beralasan, dulu dijajah Eropah, dan sekarang mengaku dijajah pemimpinnya. Tambang berserakan, katanya dilindungi undang-undang tapi tetap saja jadi ajang bancakan segelintir orang. Tahun demi tahun berlalu, dongeng-dongeng hebat dianggap fiksi. Banyak yang menganggap pembuatan candi prambanan dalam semalam hanyalah sebuah anekdot tentang kemustahilan tapi semua orang di negeri ini justru mempraktikannya dengan lebih buruk. Semua hanya ingin cepat, cepat, dan cepat tanpa mau menikmati proses. Atau karena aturan sudah jadul dan mempersulit sebuah hal yang seharusnya bisa lebih cepat?

Daripada berdebat mengenai substansi, peraturan, atau "seharusnya begini ....". Marilah kita mulai cerita ini, di tepian Pulau Javadwipa tersebutlah kakek terkenal nan bijak. Surosabar demikian namanya, mengutarakan pesan kepada generasi setelahnya:
tahun demi tahun abad demi abad,
semakin lama waktu semakin cepat pulalah ia,
ketika sesuatu terjadi berkebalikan dengan tujuan
maka demikianlah pertanda matahari akan mulai memerah semerah darah

Pesan sakti itulah yang mungkin disebut dengan "teori negasi", semua akan terjadi berkebalikan dengan yang seharusnya terjadi. Ratusan tahun kemudian, pesisir indah Javadwipa telah menjadi kota besar, dan jaman negasi yang diceritakan Sang Kakek mulai terjadi. Aturan hukum yang diciptakan untuk menciptakan keadilan justru menjadi alat ketidakadilan paling kasat mata. Negara yang mengaku demokratis justru melahirkan korupsi mufakat. Jalanan yang dulu lama menjadi semakin lama ditempuh karena alat pemercepat justru bertumpuk-tumpuk tak terhingga jumalahnya. Saat kondisi terburuk, orang yang berjalan kaki akan lebih cepat dari pengendara mobil yang terjebak kemacetan. Matahari semakin memerah, pertanda kegelapan malam akan segera tiba. Manusia akan tetap mengeluh selama ia masih ingin mengeluh, tapi bumi akan melakukan hal yang menjadi kewajibannya, berputar dan terus berputar sampai Yang Maha Kuasa menyuruhnya berhenti..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline