Kira-kira setahun lalu, ketika saya diminta untuk mendampingi mahasiswa-mahasiswa saya yang akan melakukan live-indi Kampung Pasir Angling. Kampung ini bertempat di Kabupaten Bandung Barat, lebih spesifiknya lagi, berada di Desa Sunten Jaya.
Berhubung kami ke sini beramai-ramai, maka moda transportasi yang digunakan adalah bus pariwisata. Sayang sekali, saya menjadi tidak tahu rute kendaraan umum untuk ke sini. Tapi saya yakin, informasi mengenai tranportasi umum ke Desa Sunten Jaya pasti sudah bertebaran di internet, tinggal googlingsaja.
Singkat cerita, kami turun di sebuah gapura di Desa Sunten Jaya. Untuk menuju Kampung Pasir Angling, kami harus berjalan kaki sekitar 1 hingga 2 kilometer, menanjak melewati perkebunan warga.
Meski menanjak, tapi rasa lelah maupun bosan sama sekali tidak terasa, sebab di sebelah kiri dan kanan saya dapat melihat sawah-sawah warga yang begitu hijau, pun sesekali langit biru yang cerah menyuntikkan semangat untuk terus berjalan. Bagi orang yang lahir dan besar di Jakarta, pemandangan ini sungguh langka dan menakjubkan.
Kami pun tiba di kampung. Langsung oleh petugas kampung, kami diarahkan untuk menuju ke rumah-rumah warga untuk menginap. Kebetulan saya ditempatkan di rumah miliki Ibu T. Beliau adalah seorang petani. Namun ternyata Ibu T sedang menuju kota untuk mendapatkan penyuluhan, sehingga akhirnya saya menumpang duduk dan istirahat dulu di rumah milik kepala RW.
Di sini saya langsung disuguhkan makan siang khas kampung. Nasi putih, sayur asem bening, tumis sayur, ikan tongkol goreng, dan tempe goreng tersaji hangat di depan mata; lengkap dengan kerupuk sebagai penambah selera. Nampak sederhana, namun terasa nikmat sekali, apalagi saya makan dengan posisi duduk lesehan yang membuat suasana lebih terasa homy.
Usai makan, saya berjalan-jalan mengelilingi kampung. Suasananya sejuk (karena terletak di dataran tinggi) dan asri karena di sekeliling kiri dan kanan kita bisa melihat pohon-pohon hijau menghiasi sekitar. Kadangkala ayam ternakan warga di sini berjalan kesana kemari.
Sahaja dalam Sederhana
Saya menumpang bermalam selama 3 hari di rumah Ibu T. Beliau adalah seorang petani, ia bercocok tanam di lahan milik orangtuanya. Ibu T sudah menikah dan memiliki 3 orang anak, anak pertamanya bekerja di kota.
Rumahnya sangat sederhana. Dinding maupun lantainya terbuat dari kayu. Bila ada yang sedang berjalan, lantainya akan terasa sedikit bergetar. Awalnya saya merasa aneh dengan getaran tersebut, tapi lama-lama terbiasa juga. Antar ruang tidak dibatasi dengan pintu, tapi dengan kain yang dibentangkan. Tidak ada lantai 2, tidak ada rumah bertingkat di kampung ini. Ruang yang ada pun terbatas, hanyalah ruang tamu, sebuah ruang tidur, dapur, dan kamar mandi.
Saya sempat bertemu dengan suami Ibu T. Sebenarnya ia adalah seorang tukang bakso yang berdagang keliling desa, namun sudah beberapa minggu ini ia tidak berjualan, sebab dagangannya tidak untung. Oleh sbeab itu, aktivitasnya sehari-hari hanyalah membantu istrinya dan mengantar-jemput anak bersekolah.