Lihat ke Halaman Asli

Ketika Aku Berbicara Tentang Indonesia (Part II, Ketika Yogyakarta)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika sepur menjadi kendaraan kami menuju Kota Budaya

Ketika kaki-kaki diharuskan untuk menjadi kaki yang bertulang Gatot Kaca

Ketika rakyat kecil yang mengatasnamakan pedagang asongan menjadi pemandangan kami di dalam sepur

Ketika mereka tak pernah kenal lelah untuk menjajakkan dagangannya dari gerbong satu ke gerbong lainnya

Ketika aku tahu isi dagangannya ternyata tak lebih dari harga kaos ku yg aku pakai

Ketika aku tahu mereka bukan hanya terdiri laki-laki kuat melainkan perempuan dan perempuan setengah baya

Ketika Ex. Kerajaan Mataram Kuno menjadi tempat ku bermalam

Ketika seniman jalanan bernyanyi dan berdendang sepanjang malam

Ketika budaya semakin tertanam di dalam hati yang paling dalam

Ketika kaki melangkahkan jauh ke wilayah intim sarkem

Ketika itu pula aku menyelusri jalan yang membentang di atas sumbu imajiner yang menghubungkan Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi, Malioboro, begitu banyak orang yang menyebut jalan itu. Jalan ini terbentuk menjadi suatu lokalitas perdagangan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengembangkan sarana perdagangan melalui sebuah pasar tradisional semenjak tahun 1758. Setelah berlalu 248 tahun, tempat itu masih bertahan sebagai suatu kawasan perdagangan bahkan menjadi salah satu ikon Yogyakarta. Terletak sekitar 800 meter dari Kraton Yogyakarta, tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti "karangan bunga" menjadi dasar penamaan jalan tersebut. Di penghujung jalan Malioboro ini, kami mampir sebentar di Benteng Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Benteng ini dulunya merupakan basis perlindungan Belanda dari kemungkinan serangan pasukan Kraton. Seperti lazimnya setiap benteng, tempat yang dibangun tahun 1765 ini berbentuk tembok tinggi persegi melingkari areal di dalamnya dengan menara pemantau di empat penjurunya yang digunakan sebagai tempat patroli. Dari menara paling selatan, kami sempat menikmati pemandangan ke Kraton Kesultanan Yogyakarta serta beberapa bangunan historis lainnya. Sedangkan Gedung Agung yang terletak di depannya pernah menjadi tempat kediaman Kepala Administrasi Kolonial Belanda sejak tahun 1946 hingga 1949. Selain itu sempat menjadi Istana Negara pada masa kepresidenan Soekarno ketika Ibukota Negara dipindahkan ke Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline