Lihat ke Halaman Asli

Pemaknaan Ganda Sepak Bola di Masyarakat Kita

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sepak bola kita kembali berduka.  Seorang pemain Persiraja Banda Aceh Akli Fairus meninggal dunia pada Jumat, 16 Mei 2014. Akli meninggal setelah berbenturan dengan kipper lawan dalam lanjutan Divisi Utama antara antara Persiraja Banda Aceh menghadapi PSAP Sigli.

Ketika itu Akli Fairus yang berusaha mencetak gol harus tertendang perutnya oleh kiper PSAP Sigli Agus Rahman. Akli memang tidak langsung meninggal di lapangan walau sempat tergeletak di lapangan, namun enam hari setelahnya sang pemain  baru menghembuskan nafas terakhirnya. Hasil pemeriksaan rumah sakit mengatakan bahwa kantung kemihnya bocor setelah tertendang kiper lawan.

Lebih ironis lagi adanya fakta bahwa Akli tidak langsung dibawa ke rumah sakit pasca pertandingan, baru pada pukul 23.00 sang pemain di bawa ke rumah sakit. Namun yang kebih menyayat hati adalah bahwa gaji Akli belum dibayarkan oleh manajemen Persiraja. Akli dan kolega sempat melancarkan protes kepada pemangku kepentingan klub akibat hak mereka yang bekum dipenuhi selama tiga bulan. Protes yang tidak membuahkan hasil hingga sang pemain tutup usia,

Sepak bola Indonesia adalah dongeng yang tak penah berakhir indah. Selalu diisi khayalan tinggi para pemegang tanggung jawab dan penggemar setia namun selalu menimbulkan borok yang tak pernah sembuh. Kita sering kali menyebut sepak bola adalah hal yang tak bisa diajuhkan dari masyarakat Indonesia, namun realita lapangan, sepak bola kita selalu jauh dari nilai-nilai kemasyarakatan.

Yang sering menjadi sorotan saya adalah adanya pemaknaan ganda pada masyarakat sepak bola kita. Kita acap kali memandang sepak bola lebih dari permainan dan menjiwai sepenuh hati seakan dari sanalah sumber kehidupan kita berasal, namun sering kali pada hal-hal tertentu, sepak bola tidak memiliki nilai dan hanya dipandang kecil.

Kita sering kali mendukung tim pujaan kita mati-matian. Marah ketika tim diledek atau dihina, bahkan tak jarang menjadikan tim lawan sebagai musuh yang mesti ditumpas. Yang lebih konyol adalah mengeneralisasi semua orang yang berasal dari daerah tim lawan sebagai pendukung klub. Tapi ketika tim lain menderita duka, seperti ada pemain yang meninggal dunia, mereka berbalik tidak peduli. Seakan merasa bahwa itu adalah urusan tim lain, pihak lain, tidak ada urusannya dengan kami.

Sepak bola seakan dianggap lepas dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, padahal sepak bola adalah hasil dari budaya masyarakat itu sendiri. Jogo Bonito yang lahir di Brazil merupakan hasil budaya masyarakat yang ketika itu dijajah dan kental dengan politik apartheid, pemain kulit hitam yang bersinggungan dengan pemain kulit putih akan langsung dihajar. Untuk mengakalinya kulit hitam Brazil melahirkan seni menghindari kontak fisik dengan lawan. Selain juga karena kultur masyarakat Brazil yang gemar hura-hura dan menyenangi permainan yang menghibur.

Indonesia juga memiliki kultur yang khas. Meski tidak bersinggungan langsung dengan hal teknis namun masyaraat Indonesia (dahulu) dikenal sebagai bangsa yang ramah, hangat, dan bertenggang rasa (setidaknya itulah yang diajarkan kepada saya pada pelaran PPKN jaman SD).

Sayangnya hal terebut tidak masuk ke dalam jiwa sepak bola Indonesia. Idiom “sepak bola lebih dari sekedar permainan” di artikan secara ganda bahkan rancu. Sepak bola dijadikan arena perang yang tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah. Insiden pemukulan wasit, bentrok antar penonton, hingga sweeping pendukung lawan (yang anehnya hanya menjadikan plat nomer sebagai indikatornya) menjadi contoh paling umum dijumpai.

Belum lagi perang kata-kata di sosial media yang sering beralih menjadi penggiringan opini publik yang nantinya berujung penggalangan massa untuk menyerang pihak lain. Uniknya tidak hanya penggemar sepak bola local yang bertikai, antar pendukung klub Eropa yang sering menyebut fans lokal “kampungan” karena sering bentrok ternyata melakukan hal serupa. Insiden teranyar adalah pelemparan  botol yang dilakukan oleh supporter Chelsea dan Liverpool dalam acara nonton bareng yang diadakan di Epicentrum Kuningan, 27 April 2014.

Anehnya ketika yang datang adalah berita duka kita tak pernah benar-benar meresapinya. Tak pernah ada penghormatan khusus, mengheningkan cipta, mengenakan pita hitam, atau seremonial khusus lain. Jika pun ada hanya sedikit contohnya.

Negara yang sepak bolanya jauh lebih modern dari Indonesia seperti Inggris dan Italia bahkan selalu menyempatkan untuk melakukan sesi peringatan khusus. Sering kita melihat para pemain yang bermain di Liga Inggris mengenakan pita hitam, padahal yang meninggal hanyalah seorang pendukung klub, atau penghentian kompetisi di Liga Italia karena tewasnya seorang polisi oleh supporter.

Bahkan sering kali walau pun yang meninggal dunia merupakan selebritas diluar dunia sepak bola, tetap akan ada penghormatan khusus, seperti pasca tewasnya Marco Simoncelli. Bencana nasional juga akan diberikan peringatan khusus.

Hal seperti itulah yang belum nampak di sepak bola kita. Sering kali kita acuh dan beranggapan sepak bola dan dunia sosial masyarakat adalah hal yang terpisahkan.  Padahal bukan kah kita selalu diajarkan untuk bersimpati kepada siapa saja yang sedang tertimpa musibah? Lantas apa karena seak bola sangat kental dengan aroma kompetisi maka sikap tenggang rasa adalah hal yang tabu ditunjukkan?

Padahal sepak bola bisa menjadi sarana pendidikan. Menjalin kerjasama, bersikap fair play , dan saling menghormati bisa diajarkan dari sepak bola. Tapi realitanya bahkan kompetisi yang diadakan dalam lingkup dunia pendidikan, telah melakukan banyak perbuatan tidak mendidik  seperti pecurian umur, sogok menyogok, pemain titipan, hingga tendensi untuk melakukan konflik. Tak heran jika sepak bola kita carut marut karena sejak dini anak-anak kita telah dicekoki hal bobrok seperti itu.

Lantas bagaimana dengan PSSI selaku pihak yang bertanggungjawab akan hal tersebut? Ah, apa saya perlu menjelaskan lagi ?

Inilah keunikan kita dalam memaknai sepak bola. Ada pemaknaan ganda di masyarakat kita yang justru membuat sepak bola kita menjadi hidup tapi tidak bernurani. Seperti zombie. Tapi mudah-mudahan ini hanya perasaan saya saja. Semoga…..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline