Sejarah Singkat Banjar Pertambakan, Banjar Watulembu hingga Banjarnegara
Pada pemerintahan Yudanegara I, Ngabei Banyakwide di angkat menjadi Kliwon Banyumas yang selanjutnya ditugaskan di Banjar Pertambakan. Sumber lain menyebutkan bahwa Banyakwide adalah Adipati Banjar Petambakan I sesudah pemerintahan Ngabei Wirayuda.1
Banyakwide mempunyai putra: 1. Kyai Ngabei Mangunyuda. 2. R. Kenthol Kertayudha. 3. R. Bagus Brata. 4. Mas Ajeng Basiah.1 Mangunyudha menggantikan ayahnya dan menjadi Adipati Banjar Pertambakan dengan gelar Adipati Mangunyudha I dan di kenal sebagai Mangunyuda Sedaloji karena gugur di Loji Belanda Kertosuro pada peristiwa Geger Pecinan (1743).2 Mangunyudha I dimakamkan di Banjar Petambakan. Mangunyudha I digantikan oleh adiknya R. Kenthol Kertayudha dengan Gelar Hadipati Mangunyudha II. Seperti tertulis dalam Fauziah (2012), pada kepemimpinan Mangunyudha II pusat pemerintahan dipindahkan ke Banjar Watu Lembu (sekarang Banjarmangu).1
Mangunyuda II juga dikenal sebagai Tumenggung Kertanegara III atau Mangunyuda Mukti. Mangunyudha II digantikan oleh puteranya, Ngabei Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Ngabei Mangunbroto. 3 Setelah perang Diponegoro Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik. Pada tahun 1831 Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu bunuh diri dengan cara menusuk perutnya. Ngabei Mangunsubrata putra Mangunbrata dan Ngabei Ranudireja selanjutnya memimpin Distrik Banjar sebagai dua penguasa.3
Dalam perang Diponegoro, Ngabei Dipayudha yang saat itu menjadi ngabei Ayah distrik Adireja karena jasanya di usulkan kepada Susuhunan Paku Buwana ke VII untuk ditetapkan mengisi Jabatan Banjar Watulembu (yang berkedudukan di Banjarmangu) yang telah di hapus statusnya. Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, mengangkat Ngabei Dipayuda yang selanjutnya bergelar R.T. Dipayudha IV.1 Dalam tulisan Priyadi (2006), Mas Kadirman (nama kecil dari Dipayuda IV atau Dipayuda Banjarnegara) adalah putra Ngabehi Dipawidjaya yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Banda.4 Dipawijaya (nama kecil Bagus Gugu setelah pensiun dikenal sebagai Dipamenggala) adalah anak bungsu Dipayuda I Seda Jenar.5 Ngabehi Dipadiwirya seorang Demang di Ngayah-Adireja juga adik Dipayuda IV selanjutnya diangkat menjadi Patih Banjar Watulembu.6
Pada era Dipayudha IV ini Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Selatan Sungai Serayu di daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar) dan di namakan Banjarnegara (Banjar= sawah; Negara= kota).1 Dipayuda IV menjabat Bupati sampai tahun 1846 kemudian diangkatlah Raden Adipati Dipadiningrat sebagai penggantinya.3 Dipadiningrat memerintah hingga pensiun tahun 1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura Patih Kabupaten Purworejo yang setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Tumenggung Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi modern pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi Singamerta.3
Sejarah Singkat Merden, Onje, Prabalingga hingga Purbalingga
Daerah Merden (wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok) ini pernah menjadi bagian dari Kadipaten Wirasaba sebelum dibagi empat pada kepemimpinan Wargahutama. Selanjutnya daerah Merden dipimpin Wira Kusuma putra ke 2 Wargahutama I. Wira Kusuma juga dikenal sebagai oleh Ki Gede Senon sehingga pada versi lain nama Merden juga dikenal sebagai Senon. Tidak ada catatan sejarah yang lengkap sehingga pembahasan merden tidak bisa mendalam. Menurut sumber yang ada di era Yudanegara III diangkatlah Bagus Demang sebagai Ngabehi Merden. Bagus Demang masih terhitung sebagai adik Yudanegara III. Sumber lain juga menyebutkan Bagus Luwar putra Dipayuda Seda Jenar setelah dewasa bernama Kertayuda mendapat kedudukan di Marden.4 Kertayuda meninggal di era Dipayuda III. Merden selanjutnya di bawah kepemimpinan Tumenggung Karang Lewas hingga terbentuknya Kabupaten Purbalingga. Dan di tahun 1936, distrik Purwareja-Klampok (Wilayah Merden) dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara.
Wisnandari (2007) dalam karangan ilmiahnya menyebutkan tentang pengangkatan Ki Ageng Ore-ore sebagai Adipati Onje pertama oleh Sultan Pajang Hadiwijaya dan daerah Onje (sekarang terletak di daerah Kecamatan Mrebet). Dalam telaah yang sama disebutkan selain diangkat menjadi Adipati Onje juga mendapatkan istri dan punakawan. Putra Adipati Onje bernama Wiraguna dari istri yang berasal dari daerah Onje diangkat sebagai Patih Onje.7 Selanjutnya setelah wafatnya Adipati Onje I putra tiri dari istri yang berasal dari Pajang menggantikan sebagai Adipati Onje II atau dikenal sebagai Adipati Anyakrapati.7 Catatan lain juga menyebutkan di akhir Perang mangkubumi, Kadipaten Onje yang dibawah kekuasaan Surakarta selanjutnya dijadikan perdikan dibawah Merden oleh PB I. Pada saat itu yang memimpin Merden adalah Ngabei Dhenok. Menurut Priyadi (2006) Ngabei Denok adalah Ngabehi Dipayuda I.8 Namun versi lain menyebutkan Ngabehi Denok adalah Bagus Demang sedangkan Dipayuda I memimpin daerah Karang Lewas. Bagus Demang dan Dipayuda I adalah anak dari Yudanegara II. Dari daftar silsilah yang dimiliki penulis, Yudanegara III, Bagus Demang dan Dipayuda I adalah kakak beradik beda Ibu. Onje, Merden dan Karang Lewas diduga berada di bawah pemerintahan Banyumas yang dipimpin Yudanegara III. Onje, Merden dan Karang Lewas menjadi wilayah Banyumas terjadi diduga sejak era Yudabangsa (Yudanegara I).
Adipati Onje II memiliki putra bernama Arsakusuma kelak dewasa bernama Arsantaka. Arsantaka menikahi 2 orang perempuan. Istri pertama berasal dari daerah merden dikenal sebagai Nyai Merden dan istri kedua bernama berasal dari daerah Kedung lumbu dikenal sebagai Nyai Kedung Lumbu.
Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah Karanglewas (sekarang kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Dipayuda I pada kurun waktu 1740 – 1760.3 Dalam perang jenar, Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.