Tak diduga, kamar mandi publik yang dipakai bersama itu menjadi tempat pertemuanku dengan seorang gadis berparas ayu dari negeri melayu.
Aku mengontrak persis disebelah rumah pak RT. Rumah kontrakan delapan petak itu milik istrinya pak RT. Harga kontrakan disana relatif murah, kerena fasilitas yang disediakan cukup terbatas.
Kamar di sebelahku dihuni oleh gadis cantik. Sudah hampir satu minggu, semenjak kedatangannya konsentrasiku tiba-tiba buyar. Di kantor, banyak kerjaan terbengkalai karena dihantui oleh gadis itu. Entah kenapa, pesonanya langsung memikat hatiku.
Akupun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Kebetulan ia dan aku menunggu giliran untuk mandi di kamar mandi bersama milik penghuni kos. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, dengan berbagai macam rayauan aku coba untuk memikat hatinya. Namanya Rita dan usianya hanya terpaut dua tahun denganku.
Selidik punya selidik, ternyata Rita masih ada hubungan saudara dengan pak RT. Akupun tak surut untuk mendapatkannya, meski dihalangi oleh pak RT sekalipun.
Semangatku akhirnya membuahkan hasil. Rita dan aku berkomitmen untuk menjalin hubungan. Setelah dua minggu kami berpacaran, aku dipindah tugaskan ke luar kota. Berat rasanya untuk meninggalkan rita, padahal aku baru dua minggu berpacaran dengannya.
Dengan terpaksa kami menjalin LDR (Long Distance Relationship). Waktu itu, handphone belum populer. Hanya orang-orang tertentu saja mempunyai HP. Jadi komunikasi kami hanya dapat terjalin melalui surat, yakni surat cinta.
Kadang aku tersenyum sendiri bila mengingat kembali kisah pertama kali aku membuat surat cinta untuk rita. Saat itu, aku tidak tahu menahu tentang surat menyurat. Sedikit yang ku tahu hanya kertas surat itu banyak dijual di pasar.
Rita yang pertama kali mengirimiku surat cinta yang berwarna-warni. Akupun membalasnya dengan kertas yang tak kalah indah dibandingkan kertas suratnya.
Karena baru pertama kali mengirim surat. Aku salah menuliskan letak alamatnya. Alamat penerima malah diletakan di bagian pengirim. Begitu sebaliknya, alamat pengirim tertulis di alamat penerima. Dua hari kemudian, surat cinta yang aku kirim kembali lagi ke rumahku.
Mendengar cerita itu, Rita yang sekarang menjadi istriku selalu tersenyum dan meledek diriku. Aku hanya bisa tersipu malu. Kisah ini akan menjadi bahan bagi istriku untuk mentertawakan diriku di depan anak-anak. Mungkin ini akan menjadi cerita lucu bagi anak-anak kami. Ternyata orang tua mereka gak bisa bikin surat cinta.