Lihat ke Halaman Asli

1 | Sinterklas Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Senangnya bisa mendampingimu selama hampir dua hari ini. Sesekali menyeka pelan keringatmu dengan handuk biru tua yang kini kusampirkan di pundak, ataupun sekadar memuaskan dahagamu dengan air mineral bersedotan dalam kemasan botol yang hampir-hampir selalu lekat di tangan kananku ini.

Dan saat tatap matamu berbalik kepadaku, senyum berbingkai janggut putih lebat artifisial itu tetap sama..tidak berubah dan belum berubah selama tiga tahun terakhir ini.

Lalu saat tiba di tempat tujuan, sorakan bocah berbagai usia menyambut kedatangan kami di mulut gang, berbaur dengan raungan sirene yang menjadi alarm bagi anak nakal untuk segera bertobat dan suprise yang membuat dag-dig-dug bagi anak baik akan harapan datangnya kado yang diimpikan selama ini.

Lagi-lagi aku berjalan di sisimu, setia memayungimu, melindungimu dari sengatan surya yang meninggi 90 derajat tepat di atas ubun-ubun pada jam 12 siang serta tentu saja tak lupa menyeka pelan wajahmu..ah, aku bagai dayangmu, sayang.

“Hati-hati..jangan sampai make-up-ku luntur”

“Yee..aku juga tahu”

“Bagus, babuku.”

“Apa kamu bilang?”

“Bercanda, sayang. He he he..”

“Awas kamu!”

“Untung saja sekarang aku sedang jadi Sinterklas. Kalau tidak, pasti sudah kaustempel habis wajahku dengan ciumanmu. Ha ha ha..”

“Hus! Sejak kapan? Bukannya itu kamu?”

“He he he..Pura-pura, kamu”

“Mau aku tarik janggutmu?”

“Ampun, tuan putri. Sinterklas janji tidak akan mencium tuan putri lagi.”

“Apa?”

“Maksudnya tidak mencium di kening lagi tapi di bibir.”

“Yeeee...!!” tangkisku sambil melancarkan cubitan pelan pinggangnya yang tersembunyi di balik jubah merah panjang itu.

Canda terhenti sesaat karena kami sudah tiba di rumah Juno, bocah berusia lima tahun yang menurut laporan sang bunda, masih suka minum susu lewat botol dan malas tidur siang.

Dari dalam rumah sudah terdengar jeritan bocah berambut keriting itu akibat bentakan dua Om Pit Hitam yang sudah lebih dulu menyatroni rumah bertingkat itu. Pit Hitam yang pertama sibuk mengibas-ngibaskan karung, sedangkan yang satunya lebih fokus mengacungkan sapu lidinya berulang kali.

Saatnya Opa Sinterklas beraksi..siapa lagi kalau bukan Lewi-ku, lelaki yang memacariku menjelang Natal 2008, tepatnya pada ulang tahunku yang ke-24.

“Iya..Iya, Opa Sinterklas.. Juno janji tidak akan minum susu lewat botol lagi dan Juno akan rajin tidur siang,” ujarnya dengan sisa-sisa isakan yang nyaris tak terdengar, sambil memeluk ibunda yang memasang mengerling senang kepada si opa dan kedua om berkulit hitam legam tadi.

“Bagus..bagus.. Nah, karena Juno sudah berjanji untuk menjadi anak yang baik setelah ini, maka sekarang ada kado buat Juno,” kataLewi sambil menyodorkan benda yang dibungkus kertas kado bergaris hijau-putih menyala itu.

“Jepret!”

Juno memamerkan senyum lebarnya. Entah itu senyuman tulus ataukah dipaksakan karena sesekali wajahnya masih tengak-tengok penuh waspada kepada dua Om Pit Hitam yang berpose di sisi kanannya. Yang pasti foto itu kelihatan sempurna di depan pohon Natal raksasa yang lengkap dengan puluhan ornamen modernnya.

“Hmmm..berapa sih harga pohon Natal itu? Mungkin enam jutaan..Hedew! Kapan ya, aku jadi orang kaya supaya bisa memiliki pohon Natal sebagus ini?”

“Oi, babuku! Eh, salah..dayangku. Melamun apa? Hayo, payungi aku. Apa kamu mau ketampananku luntur digerus mentari nakal itu?”

“Yee...seharusnya kamu cocok jadi Pit Hitam. Mukamu kan hitam.”

“Ha ha ha..Kan sekarang sudah di-make-up. Jadi kelihatan putih. Lagipula, walaupun hitam, aku nyong hitam manis, bukan?”

“Hueeek! Aku mau muntah!”

“Apa susahnya mengatakan iya, manisku? Buktinya kau mau saja menerima cinta nyong hitam ini.”

“Cukup..cukup.. Jangan sampai aku benar-benar muntah.”

Canda kami dilanjutkan lagi setelah dia mendorong mesra jidatku..tentunya sambil berjalan menuju rumah berikutnya dimana kedatangan kami sudah dinanti-nantikan dengan tidur yang mungkin susah nyenyaknya sejak kemarin malam.

(bersambung ke sini)

Ket:

Bahasa Melayu Ambon

nyong = panggilan kepada lelaki muda yang belum menikah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline