Lihat ke Halaman Asli

Celana Dalam Persahabatan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku mendapatkan sedikit uang lebih. Lumayanlah dari biasanya.. Dan sebagai sobat kental sekaligus rekan kerjaku di salah satu radio swasta terkenal di kota Ambon, tentu kebahagiaan yang tak seberapa ini ingin kubagi dengannya, si hitam manis jangkung yang menurutku telah menulariku virus kegilaan selama beberapa bulan terakhir ini..

“Ngg.. Kita kemana ya?” tanyaku berharap dia punya usulan yang baik.

“Kemana sajalah.. Kau kan pemilik modalnya. Sebagai pihak yang diajak, aku ikut saja..” jawab si jangkung tanpa lupa memonyongkan bibirnya kira-kira lima sentimeter.

“Ah, kau ini. Kalau begitu kita jalan saja dulu. Biarkan kaki ini membawa kita ke tempat yang tepat,” aku memutuskan.

“Yuk! Asal jangan ke neraka. Kalau ke neraka, kau saja yang pergi. He he he..” perempuan jangkung menuruni tangga gelap itu duluan.

“Gila!!” seruku di belakangnya.

˙·٠•●

Kami berdua saling bertukar pandang sesaat ketika sama-sama memandang tulisan Planet 2000 – salah satu swalayan teramai di kota kami – dengan sudut pandang kira-kira 45 derajat. Tulisan itu masih pada tempatnya, tidak kemana-mana..

“Masuk!” kataku yang lebih mirip perintah.

“Yup! Terserah pemilih modal. He he he..” jawabnya diikuti kerlingan nakal di balik sepasang lensa bersayapnya itu.

“Iya, calon pemeras,” aku menjawab sembari menjambak salah satu tali ranselnya.

˙·٠•●

Usai membeli beberapa keperluan wanita, kini giliranku membelikan sesuatu untuk si jangkung super cuek itu..

“Aku belikan kamu minuman dingin saja ya?” tanyaku.

“Haa? Masa minuman dingin?” tolaknya setengah bertanya yang sebenarnya lebih mirip memelas.

“Yee, kau kira aku dapat banyak uang? Jangan minta yang mahal-mahal dong?!” jelasku.

“Siapa bilang aku minta yang mahal-mahal? Lha, kau kan belum tahu apa yang kuminta?” balasnya dengan senyuman mengejek.

“Memangnya kau mau dibelikan apa?” tanyaku dibarengi kebingungan.

Dan aku mulai gelisah saat senyum aneh di wajah mulusnya itu digantikan dengan tarikan tangan kananku ke arah rak paling belakang di swalayan itu. Anehnya, aku menurut saja bagai domba yang pasrah digiring ke tempat pembantaian..

“Jangan minta yang aneh-aneh..” kuingatkan si jangkung.

“Sudah! Ikut saja.. Kamu tulus kan mau membelikan apa yang aku minta?” godanya.

“Iyooo...” ucapku pasrah.

“Ha ha ha... Baguuus! Tidak sia-sia kamu jadi sahabatku!” lagi-lagi si jangkung berkulit gelap itu mengejekku.

Jari-jemari kurusnya segera mengacak-acak sejumlah pakaian dalam pada sebuah keranjang besi, sementara aku mematung penasaran di belakangnya sembari membalas beberapa pesan yang sudah bersemayam cukup lama di inbox hp-ku ...

“Nah, yang ini saja ya?” katanya sambil mengangkat sebuah celana dalam bergaris hijau-putih setinggi dadanya.

“Ya ampun! Masa minta dibelikan celana dalam?” kataku setengah terperangah dengan nada yang masih ada dalam batas kewajaran – semoga tidak didengar orang-orang di sekitar kami.

“Memangnya kenapa? Berdosakah kalau seorang teman membelikan temannya celana dalam? Ha ha ha.. Jangan terkejut yang aneh-aneh,” jelasnya berbingkai senyum kemenangan.

“Tapi...” aku mencoba menjelaskan kebingunganku.

“Begini...Kalau kau membelikan aku minuman dingin, usai meminumnya, ya habis. Tapi aku ingin punya suatu benda kenangan yang mengingatkanku padamu, tentunya dengan harga yang pantas sesuai isi kantongmu. Makanya kupilih celana dalam manis ini. Kebetulan memang aku suka celana dalam bermotif seperti ini. Hitung-hitung menambah koleksi celana dalam lucuku di rumah. Harganya pun murah.. Cuma Rp.5.000. Sama kan dengan harga minuman dingin itu?” jelasnya memotong kataku.

“Iya..iya.. Aku belikan. Cuma aneh saja. Masa minta dibelikan celana dalam?” ucapku tak percaya.

“Ha ha ha.. Yang penting sama-sama puas. Aku dapat celana dalamnya, kau pun hanya merogoh Rp.5.000. Pas kan?“

“Hmm.. Terserahlah..”

˙·٠•● Keesokan harinya di studio....

Si jangkung menarik rambutku di pojok ruangan saat aku memutar jingle iklan.

“Woeeee! Pelan-pelan, ah!” jeritku.

“Hah! Dasar perempuan lemah. Kamu tidak mungkin mati kalau hanya ditarik rambutmu seperti ini. Ha ha ha..” ejek perempuan jangkung.

“Iya, perempuan gila!” serangku.

“Eh, tahu tidak..aku sekarang sedang mengenakan celana dalam yang kau hadiahkan kemarin,” kata dia.

“Memangnya siapa yang bertanya?” giliranku mengejek.

“Ho ho.. Rupaya si nona minta kutarik rambutnya pakai motor ya?!” balasnya.

“Tolooong! Rupaya selama ini aku berteman dengan perempuan pembunuh!” jeritku tertahan

“Lagi pula sebenarnya itu bukan hadiah karena kamu yang memilih sendir hadiahnya,” lanjutku.

“He he he.. Sama saja..kan sumber dananya dari kamu? Dan seharusnya kamu berterima kasih karena ketika aku memakai celana dalam ini, itu tandanya aku menghargai pemberianmu dan persahabatan kita.

“Hus!” sindirku.

Dan kami berdua larut dalam tawa renyah yang diatur hingga stadium dua saja, mengingat bos perempuan yang sedang berlalu-lalang seperti setrika rusak ada di ruang depan, yang biasanya akan mengumandangkan kesewotan dan kecerewetannyaketika mendengar celoteh kami yang bisa saja meningkat ke stadium akhir.

˙·٠•● Setahun kemudian....

Buru-buru kuangkat hp-ku yang sedari lima menit lalu menjerit tanpa mau kompromi kalau aku sekarang sedang sibuk dengan deringan-deringan membosankan lainnya di ruang operator. Aku tersenyum simpul ketika melihat nama yang tak asing lagi di layar hp tuaku itu.

“Woeeeee!! Perempuan gila kerempeng! Tumben kau meneleponku?” sahutku membuka percakapan.

“Kau yang gila, perempuan karung beras 100 kilo! Ha ha ha.. Bersyukurlah aku masih mengingatmu,” kata suara si jangkung di ujung sana.

“Apa kabar?” tanyaku lagi.

“Yang pasti aku masih hidup. Kau kira aku meneleponmu dari alam baka?” ujarnya nakal.

“Ya Tuhan, makin lama tak bersua, rupanya otakmu bervirusmu itu harus di-scan,” balasku tak kalah nakalnya.

“Sudah! Sudah! Aku cuma mau bilang kalau sekarang aku sedang memakai si hijau-putih bergaris sekarang, celana dalam pemberianmu tahun lalu,celana dalam persahabatan kita,” kata dia.

“Ouw! Haruskah aku terharu karena aku punya seorang teman perempuan gila yang pernah minta hadiah aneh? Ha ha ha ha..” serangku tajam kali ini.

Dan pembicaraan renyah kali ini bersama pemilik celana dalam bersejarah itu berlangsung hingga 30 menit berikutnya, menyingkirkan deringan-deringan lainnya yang masih merengek mati-matian di ruang operator. (*)

▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀

Mengenang kembali masa-masa menyenangkan bersama Trully Sitaniapessy

Artikel terkait :Kalau Cinta, Cucilah Celana Dalamku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline