"Tadi malam, pihak keluarga - sebelum kaki Engki diamputasi - kami sudah menyerahkan secara utuh, ikhlas atas pekerjaan Dokter. Sebelum diamputasi, kami melakukan doa pelepasan, penyerahan kepada tim medis untuk mengamputasi. Hasil semua upaya tim medis, syukur semua sudah baik. Hanya saja Engki masih trauma."
Begitulah pernyataan Deri. Saya mewawancarai Deri, pada Rabu, 24 Oktober 2018. Wawancara via telepon, Jakarta -- Nusa Tenggara Timur. Deri, merupakan paman dari Agustinus alias Engki.
Siapa Agustinus?
Nama lengkapnya, Agustinus Ana Mesa. Warga Sumba Barat, NTT. Pemuda 25 tahun ini sekarang kehilangan kaki kanannya. Tim dokter di Rumah Sakit Karitas Weetabula, NTT, Selasa (23/10), mengamputasi. Luka menganga dan daging yang membusuk, jadi alasannya.
Luka itu akibat ditembus peluru polisi, tiga bulan lalu. Versi Agustinus yang disampaikan ke Deri. Waktu itu, 23 Agustus 2018, Agustinus ditangkap oleh sejumlah aparat Polres Sumba Barat, atas dugaan nencuri motor dan ternak. Di Mapolres, Agustinus diduga mengalami penyiksaan. Ditelanjangi, dipukuli sampai pingsan. Tak hanya itu, kaki kanannya juga didor polisi.
Kisah selanjutnya? Derita. Keluarga Agustinus tidak merawat luka tembak secara medis. Biaya pengobatan yang mahal, kendalanya. Pengobatan alternatif jadi pilihan. Sayang, hasilnya, tiga bulan justru tambah parah. Kaki kanan Agustinus terpaksa harus diamputasi.
Sementara itu, Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Jules Abraham Abast tidak membantah aparatnya menembak Agustinus. Tapi, bukan berarti pihaknya bertindak semena-mena. Kata Jules, Agustinus masuk dalam DPO sejak 2017. Lagipula, polisi tidak akan sengaja menembak bila Agustinus tak melawan. "Dia mencuri sepeda motor dan melakukan tindakan penganiayaan yang menyebabkan dua jari korbannya putus," ujarnya.
Memahami kendala biaya pengobatan keluarga Agustinus, saya pun memohon izin untuk bertanya, bagaimana tentang pembiayaan rumah sakit? Maklum, ini proses amputasi untuk menyelamatkan nyawa. Jawaban Deri cukup mengejutkan saya. Ia mengaku, pihak rumah sakit belum memberi informasi apapun terkait biaya medis yang harus ditanggung keluarga. "Selain itu, (karena memang) yang menghubungi rumah sakit adalah LPSK dari Jakarta. LPSK yang kontak langsung dengan Direktur rumah sakit," ujarnya.
"Sakti" benar LPSK ini, pikir saya.
Begitulah faktanya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ini responsif sekali menangani kasus Agustinus. Bukan hanya melindungi, tapi juga menjamin pemenuhan hak-hak yang seharusnya diterima Agustinus. Saya mengapresiasi LPSK. "Jauhnya" jarak lokasi kasus ini terjadi, tidak membuat LPSK lepas tanggung-jawab. Terbukti, "kepak sayap" LPSK menjangkau hingga pelosok negeri.
Ini memang sesuai dengan amanat payung hukum yang menaungi. Sebagaimana diatur pasal 12 dan 12A UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana LPSK memanggul sepuluh tanggung-jawab berdasarkan tugas dan kewenangannya. Salah satunya: Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi.