Lihat ke Halaman Asli

Gapey Sandy

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Nyanyi Seirama, Hizbut Tahrir Indonesia dan "Paradoks" Prabowo

Diperbarui: 30 September 2018   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2015, aksi Hizbut Tahrir Indonesia minta tambang Freeport dihentikan. 2018, saham mayoritas PT Freeport Indonesia dibeli oleh Pemerintah Indonesia. (Foto: poskotanews.com)

Tengoklah siapa saja - yang menyebut dirinya ulama dan tokoh nasional dan sudah menyatakan keputusannya untuk mendukung Capres-Cawapres Prabowo-Sandi. Dukungan dinyatakan melalui Sidang Pleno I yang menelurkan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II, pada 16 September 2018 di Jakarta.

Mereka adalah H Dani Anwar, H Munarman, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i, H Yusuf Muhammad Martak, KH Muhammad Al-Khathath, Ustadz Bambang Setyo, Ustadzah Nurdiati Akma, Ustadz Saleh Khalid, KH Zaitun Rasmin, Ustadz Muhammad Achwan, dan KH Ahmad Shabri Lubis.

Satu nama bikin saya kepo: KH Muhammad Al-Khathath. Bukankah empunya nama asli Muhammad Gatot Saptono ini pernah aktif di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? Lalu menjabat Sekjen Forum Indonesia (FUI), dan bersama sejumlah pimpinan ormas Islam lainnya termasuk Imam Besar DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, dan Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Ustadz Abu Jibril menggagas dan memperjuangkan NKRI Bersyariah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia Bersyariah, apa itu? Ya, dari namanya saja sudah gampang menafsirkannya. Yaitu, perjuangan untuk mewujudkan NKRI yang menerapkan seratus persen syariat Allah SWT, sebagai dasar dari segala hukum maupun perundang-undangan yang formal konstitusional.

Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memilih dan mengangkat Presiden yang tidak alergi untuk mendekritkan pemberlakuan syariah di Indonesia secara sah dan konstitusional.

Muhammad Al-Khathath ketika diperiksa aparat berwajib. (Foto: duta.co/IST)

Tentu, ini seirama juga dengan apa yang diperjuangkan Al-Khathath semasa jadi salah satu pimpinan Hizbut Tahrir periode 2002-2004 lalu. Yakni, ingin merealisasikan cita-cita menciptakan Indonesia sebagai Negara Khilafah. Sekaligus, menumbangkan sistem dan rezim demokrasi.

Tak heran, Al-Khathath ikut berada di garis depan sejak Aksi Bela Islam I, II, dan III. Keterlibatannya kemudian dibayar mahal, ia dicokok aparat kepolisian, dini hari sebelum aksi jilid III dimulai. Tuduhannya enggak main-main. Makar! Lelaki jebolan Institut Pertanian Bogor ini dijerat Pasal 107 dan 110 KUHP tentang makar. Polda Metro Jaya menduga Al-Khathath  ingin menggulingkan pemerintahanan yang sah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Kegagalan kedua Al-Khathath. Lho, kegagalan pertamanya? Al-Khathath udah gagal dalam pencalegannya dari Partai Bulan Bintang di Pileg 2014. Aneh memang, bersikap menentang demokrasi, tapi ikutan jadi Caleg untuk dapat kursi di DPR RI.

Setahun kemudian, Pemerintah membubarkan HTI. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Hizbut Tahrir Indonesia tamat. Status badannya dicabut, kata Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Freddy Harris pada 19 Juli 2017, berdasarkan SK Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

"Kemenkumham memiliki kewenangan legal administratif dalam aturan pengesahan perkumpulan atau kemasyarakatan (ormas). Di samping itu, Kemenkumham juga berwenang mencabut status tersebut. Khususnya yang berseberangan dengan ideologi dan hukum negara di Indonesia. Dengan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A," kata Freddy ketika itu.

Menkopolhukam Wiranto, pada 8 Mei 2017, memaparkan gamblang tiga alasan pembubaran HTI. Pertama, HTI tidak memainkan peran positif untuk ambil bagian dalam proses pembangunan demi mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI terindikasi telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila serta UUD Negara RI tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas HTI dinilai menimbulkan benturan masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban serta membahayakan keutuhan NKRI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline