Lihat ke Halaman Asli

Gapey Sandy

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Mengapa Usulan Sertifikasi Halal Batik Ditolak oleh Perajin?

Diperbarui: 6 Februari 2018   06:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengerjaan membatik. (Foto: kampoengbatikpalbatu.com)

"Seruan agar para pebatik memiliki sertifikasi halal, sangat tidak rasional. Justru akan sangat membuat batik semakin terpuruk. Secara tidak langsung hal tersebut justru akan membunuh para perajin batik dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang pasti akan memberatkan perajin."

Tanggapan yang bernada penolakan ini dilontarkan Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah kepada penulis melalui chat WhatsApp, kemarin.

Iin mengomentari pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah agar para pebatik wajib memiliki sertifikat halal sebelum tahun 2019 sesuai Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. "Karena dengan tidak menjual barang yang tersertifikasi halal ada sanksi pidananya, untuk itu kita berikan sosialisasi kepada para pebatik," katanya di Cirebon, Sabtu (27/1).

Undang-undang ini akan mulai berlaku pada 2019. "Maka jauh sebelum itu kami memberikan masukan, kepada para perajin batik untuk mengurus itu semua (sertifikasi halal -- red). Karena mulai tahun 2019 itu undang-undang sudah berlaku," ujarnya seraya menambahkan undang-undang mewajibkan bahwa yang bersertifikasi halal bukan hanya makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi dan produk rekayasa genetik.

"Barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti batik, kopiah, dan lainnya wajib disertifikasi halal juga. Kriteria halal itu mulai dari bahan baku sampai jadinya, seperti morinya, warnanya dan prosesnya harus halal semua terhindar dari najis," tuturnya seperti dimuat oleh Antara.

Proses membatik. (Foto: screenshot video Rumah Batik Komar)

Kewajiban sertifikasi halal bagi perajin batik memang seperti "petir di siang bolong". Khususnya bagi perajin batik yang berbasis pada usaha atau industri kecil masyarakat. Tak sedikit yang harus menghadapi kenyataan bahwa belum juga mengurus sertifikat kompetensi membatik, sekarang sudah diharuskan lagi mengurus sertifikat halal. Padahal, mereka ini cuma perajin yang berada di posisi hulu. Artinya, mengapa bukan produsen kain dan bahan-bahan dasar membuat batik - yang notabene pengusaha besar - itu saja yang diwajibkan "menghalalkan" seluruh input, proses dan output pabrikannya? Sehingga, UKM atau IKM batik yang "kecil-kecil" bisa langsung menerima matang saja atas segala risiko "kehalalannya".

Iin Windhi juga mengatakan, perlu diketahui, para perajin batik sebagian besar dari Sumber Daya Manusia yang berpendidikan rendah. Dan mungkin bisa diketahui hasil dari selembar kain batik terkadang tidak sesuai dengan tenaga dan seni yang mereka keluarkan. Tapi, mereka tetap harus berusaha bertahan untuk dirinya dan mempertahankan atau melestarikan batik. "Sebegitu susahnya mereka harus bertahan, kenapa masih saja harus dibebani dengan berbagai aturan? Kenapa tidak membantu dalam hal lain yang bisa untuk melindungi mereka dari ekonomi pasar bebas dan kepunahan batik?" tanyanya dengan nada kesal.

Kalaupun sertifikasi halal ini wajib dan pengurusannya pun gratis, menurut Iin, tetap bukan sesuatu yang rasional. Karena memang bukan itu yang dibutuhkan perajin batik saat ini. Cobalah lihat dan tanyakan apa yang menjadi kesulitan perajin sekarang ini.

"Apalagi tentang batik yang sebenarnya saja, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tahu. Sementara, negara tetangga justru makin menunjukkan keinginan untuk memproduksi batik sendiri. Untuk kasus ini saja, bagaimana perlindungan Pemerintah terkait hal ini? Apa yang sudah dilakukan Pemerintah dalam hal ini? Sudah maksimalkah? Bagaimana tindakan Pemerintah? Apa juga sudah maksimal?" tanya Iin.

KANAN: Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah. (Foto: FB Cinta Batik Semarang)

Iin mencontohkan, dulu di Jepara sebagian perajin memproduksi Kain Sutra sendiri. Tapi lantaran harga tidak bisa bersaing dengan produk negara lain, maka akhirnya mereka gulung tikar. Lantas apa tindakan Pemerintah? Nah, bercermin dari pengalaman tersebut, apa batik juga akan sama dengan seperti itu? "Lha wong sertifikat kompetensi untuk perajin batik saja tidak banyak imbas positifnya kepada para perajin batik. Padahal hal ini sudah jelas-jelas untuk melindungi kompetensi kemampuan SDM perajin. Terus bagaimana juga dengan sertifikasi halal batik? Coba dijawab saja, seorang perajin batik itu mereka menjual atau membuat seni?" tuturnya prihatin.

Jangan komersialisasi sertifikasi halal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline