Lihat ke Halaman Asli

Gapey Sandy

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Selamatkan Batik Indonesia dari Batik Tiruan

Diperbarui: 27 Desember 2017   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batik Peta Indonesia koleksi Haryani Winotosastro dari Batik Winotosastro, Yogyakarta. (Foto: Gapey Sandy)

Selain ada Yayasan Batik Indonesia (YBI) yang peduli dengan kemajuan dan pelestarian batik, kini ada satu lagi nama baru terlahir, yaitu Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI).

Berlokasi di Museum Tekstil - Jalan Aipda KS Tubun Raya, Jakarta Barat, pada 20 Desember 2017 kemarin, APPBI resmi berdiri. Motto asosiasi ini enggak main-main loh: "Mengawal Batik Indonesia sebagai Jatidiri Bangsa untuk Dunia".

Sebenarnya, APPBI sudah terbentuk sejak 29 Juli 2017 di Pekalongan. Dasar pembentukannya waktu itu, semangat luhur para pecinta, pemerhati, peneliti, pelestari sekaligus berprofesi sebagai perajin asli batik Indonesia yang sudah cukup lama dalam memproduksi dan melestarikan wastra batik Indonesia.

Komarudin Kudiya selaku Ketua Umum APPBI periode 2017 -- 2020, dalam sambutannya mengatakan, tak dapat dipungkiri bahwa laju globalisasi turut mewarnai perubahan dan menjadi ancaman sangat serius terhadap batik di Indonesia. Secara langsung, imbas tersebut adalah merosotnya nilai-nilai seni budaya yang diakibatkan oleh semakin maraknya kontribusi tekstil tiruan batik yang lambat laun dapat melibas kelestarian batik-batik tradisional yang sarat keadilihungan karya seni yang melahirkannya.

Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya. (Foto: Gapey Sandy)

Katanya lagi, setelah 8 tahun berjalan - 2 Oktober 2009 - UNESCO mengukuhkan batik Indonesia dalam daftar Representative Budaya Tak Benda Warisan Manusia kemudian memperingati setiap 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional, tetapi secara khusus para perajin dan pengusaha batik Indonesia belum merasa terwadahi untuk menyampaikan segala macam permasalahan yang ditemui dan membelit seputar industri batik.

"Masih banyak PR yang belum bisa kita kerjakan, baik oleh institusi Pemerintah, paguyuban batik, organisasi-organisasi batik, bahkan YBI sekali pun. Sebab masalah batik ini cukup pelik dan membutuhkan peran dari para praktisi perajin batik yang dalam keseharian menyatu dalam denyut nadi batik itu sendiri," ujar empunya brand' Batik Komar' di Bandung, Jawa Barat ini.

Komarudin menjelaskan alasan mengapa APPBI dideklarasikan, di antaranya banyak permasalahan batik yang bisa ditinjau dari berbagai aspek. Pertama, aspek budaya. Saat ini, sudah terlalu jauh adanya pergeseran nilai-nilai yang diampu batik dalam kehidupan budaya batik di Indonesia. Batik sudah tercabut dan terlepas dari akar budaya yang sesungguhnya.

"Batik sudah berpindah posisi dan berwujud sekadar nilai ekonomi dan telah dikomersialisasi oleh beberapa kepentingan," ujarnya.

Batik Paksinagaliman koleksi Komarudin Kudiya dari Batik Komar, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)

Batik Parang Seling Kembang koleksi Ahmad Failasuf dari Batik Pesisir, Pekalongan. (Foto: Gapey Sandy)

Kedua, aspek ekonomi. Kini, sudah begitu maraknya industrialisasi kain-kain bercorak batik yang dikerjakan dengan mesin-mesin modern dengan labelisasi batik tulis, batik sutra halus dan lainnya.

"Hal-hal seperti ini, menurut kami adalah sebuah kebohongan dan pembodohan publik. Untuk itu, kami berharap kepada Pemerintah untuk segera melakukan semacam penertiban, dikuatkan law enforcement yang ada sehingga hal-hal seperti ini jangan terjadi lagi. Semua itu, agar jangan sampai mengganggu dan mengebiri seluruh perajin batik di Indonesia," harap Komarudin.

Selain itu, Komarudin mengeluhkan kecenderungan semakin lesunya penjualan batik dalam beberapa tahun terakhir. "Kami sering mengikuti pameran dan terbukti daya beli masyarakat terhadap batik belakangan semakin merosot. Hal demikian menjadi catatan penting untuk bagaimana kedepannya para perajin dan pengusaha batik ini mengatasi kelesuan penjualan. Juga, bagaimana sebaiknya mengikuti tata kelola pameran, dan sosialisasi yang tepat terhadap batik dan pameran batik itu sendiri," tandas pria yang pernah meraih Archipelago Award pada 2011 ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline