Petani merasakan dampaknya. Lahan kebun dan sawah seluas kurang lebih 45 hektar nyaris tidak bisa dikelola sama sekali. Jangankan untuk menanam padi dan palawija, bahkan bidang-bidang sawahnya pun rusak. Gerusan ombak laut terus merambah dan mencacah daratan, termasuk ya itu tadi, kebun juga sawah. Musim demi musim, abrasi pantai membuat warga masyarakat Pulau Bawean meradang. Mereka tersadar: ADA KESALAHAN YANG SUDAH DILAKUKAN.
Kesalahan yang dimaksud, tidak lain adalah penggundulan hutan bakau. Akibatnya, pada sekitar tahun 1995, sebagian besar sawah-sawah mereka tak lagi bisa dikelola sama sekali. Pengikisan pantai mengubah tanah bercocok-tanam jadi berlumpur juga berair asin. Air laut! Kerusakan ekosistem pantai yang dimulai dengan lenyapnya pohon-pohon bakau, kontan dibayar mahal.
Wajarlah alam murka. Pohon-pohon bakau (mangrove) yang oleh masyarakat lokal disebut tanjheng semakin habis dibabat. Bukan cuma batang-batang tanjheng yang ditebas, bahkan daun-daunnya pun sengaja dirontokkan.
Penebangan pohon-pohon bakau ini semakin merajalela, manakala mulai bersiap memasuki musim penghujan. Maklum, batang-batang tanjheng dimanfaatkan sebagai kayu api atau kayu bakar untuk memasak. Juga, dijual. Kualitas perapian yang dihasilkan dari kayu pohon bakau memang lebih baik dibandingkan jenis kayu lainnya. Lantas bagaimana dengan daun-daunnya? Ternyata, masyarakat memanfaatkannya sebagai pakan ternak.
Lengkaplah sudah, batang-batang pohon bakau dieksploitasi. Daun-daunnya pun digunduli. Ekosistem pantai hancur. Abrasi pantai membuat babak belur.
Menghadapi kondisi tidak menguntungkan ini, kesadaran masyarakat untuk melestarikan pohon-pohon bakau pun tumbuh. Aksi nyata ditunjukkan kepada bumi. Perairan sekitar pantai yang gundul mulai ditanami bakau lagi. Bakau yang masih tersisa, semampu tenaga dirawat dan dipelihara.
Sebenarnya, upaya konservasi bakau ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Tetapi karena dilakukan sporadis dan tidak secara bersama-sama, maka hasilnya pun kurang memuaskan. Karena, ada sebagian warga yang giat memelihara pohon bakau, sementara yang lain justru malah menggundulinya.
Meski begitu, semangat melakukan penghijauan di lokasi sepanjang garis pantai tak pernah pupus. Aparat Pemerintah, para tokoh masyarakat dan warga masyarakat terus bahu-membahu menyelamatkan pohon-pohon bakau yang masih tersisa. Sedangkan untuk penanaman bakaunya masih belum dilakukan secara masif.
Akhirnya, pada 2013, di Desa Daun, Kecamatan Sangkapura, terbentuk komunitas warga pelestari pohon tanjheng. Mereka menamakan diri Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Hijau Daun, tugasnya tidak sekadar melakukan konservasi tapi juga edukasi. Secara legalitas formal, Pokmaswas Hijau Daun resmi dinyatakan berbadan hukum oleh Kemenkum dan HAM pada 2016.
Dalam praktiknya, Pokmaswas Hijau Daun juga memperoleh bimbingan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, termasuk dengan mengikutsertakan studi banding upaya pelestarian alam ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Malang. Tak hanya berguru secara teori, kelompok ini juga membangun jembatan kayu sepanjang 170 meter yang mengelilingi area konservasi hutan bakau.