Pekalongan dan batik tak dapat dipisahkan. Batik Pekalongan, siapa pula yang belum kenal? Tak salah kalau dibilang Pekalongan adalah Kota Batik. Sebutan ini semakin lengkap dengan sudah diluncurkannya buku berjudul ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan. Buku setebal 214 halaman ini disponsori Bank BCA.
* * *
Mencerminkan khasanah budaya leluhur, kain Batik adalah kebanggaan bangsa Indonesia yang sudah diakui UNESCO sebagai Budaya Benda Tak Benda Warisan Manusia.
Aspek sosial budaya yang terangkum melalui sehelai kain Batik menawarkan nilai tambah yang tinggi di pasar domestik maupun mancanegara. Pada 2015 saja misalnya, nilai ekspor Batik dan produk Batik mencapai US$ 178 juta atau meningkat 25,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Pasar ekspor utama Batik Indonesia utamanya adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
Berfokus membangun ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, kain Batik dan produk Batik menjadi komoditas yang patut diperhitungkan sebagai aset yang berharga dan mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Beragam inisiatif seperti pembentukan Ekosistem Desa Kreatif yang diusung BEKRAF dan Desa Wisata Binaan yang diusung BCA berkontribusi menyediakan wadah bagi peningkatan kualitas para pengrajin Batik, serta kemajuan budaya dan ekonomi masyarakat berbasis kearifan lokal.
“Batik adalah salah satu kebudayaan kita yang harus menjadi milik kita sendiri. Apalagi batik memang sudah ada di Indonesia sejak abad ke-14. Hingga saat ini, batik semakin unik karena di setiap daerah selalu ada kerajinan batik dan punya ciri khas tersendiri,” ujar Presiden Direktur PT BCA Tbk (Bank BCA), Jahja Setiaatmadja ketika berbicara dalam talkshow forum kafe BCA VI bertema ‘Khasanah Batik Pesona Budaya’, Selasa, 23 Mei 2017 di Menara BCA, Jakarta.
Talkshow menghadirkan pembicara Poppy Savitri selaku Direktur Edukasi dan Ekonomi Kreatif BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif), Nita Kenzo yang merupakan Ketua Yayasan Batik Indonesia, dan Suryani SH MHum sebagai Rektor Universitas Pekalongan (Unikal).
Jahja melanjutkan, dirinya yang terlahir pada 1955, mulai terkesan dengan batik sejak duduk di bangku SD lantaran pihak sekolah mewajibkan seragam batik. “Meskipun itu merupakan batik cetak, tapi at least kita diperkenalkan dengan batik. Seiring berjalannya waktu, rasa mengenal dan memiliki batik sebagai kebudayaan bangsa semakin menebal dan inilah hal yang paling penting. Semakin mengenal batik maka semakin kita sayang,” katanya sembari menyebut bahwa seperti pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, forum kafe BCA VI sengaja digelar agar supaya generasi muda dapat mengenal lebih dekat rekam jejak falsafah Batik dari masa ke masa. “Menghargai Batik sebagai salah satu warisan budaya yang perlu kita bersama lestarikan.”
Generasi muda Indonesia wajib meneruskan kerajinan batik, lanjut Jahja, karena saat ini kerajinan membatik yang turun-temurun dari generasi ke generasi semakin jarang dan sulit, karena generasi penerus dibawahnya semakin tidak tertarik dengan membatik dan malah justru lebih tertarik untuk menekuni hal lain. Inilah tantangan yang dihadapi oleh kerajinan membatik, padahal mustinya kondisi demikian terjaga dan berkesinambungan,
“Peribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’ saja masih belum cukup. Harus diubah, mengenal lebih mendalam dan menyayangi batik. Artinya, tahu arti historis, tahu budaya batik di setiap daerah, sehingga akan sangat berharga, sehingga akan lebih tahu bagaimana menghargai batik. Bukan sekadar batik yang diproduksi oleh tokoh terkenal saja, atau yang sekadar harganya mahal saja, melainkan mengenal batik secara mendalam, mulai dari apa dan bagaimana Batik Cap, Batik Tulis dan sebagainya,” urai Jahja.
Nilai filosofis yang tersirat dalam sehelai kain Batik, katanya lagi, menjadikan Batik sebagai karya seni yang punya nilai jual tinggi di pasaran. “Aspek ini yang sebaiknya kita bersama tonjolkan dalam membangun ekonomi kreatif di Indonesia sehingga tidak hanya menjual kain Batik dan produk Batik yang bermutu tinggi tetapi juga merepresentasikan jiwa dan identitas bangsa Indonesia,” jelas Jahja lagi.