Ketika dalam banyak kesempatan saya menyebut Batik Etnik Kota Tangerang Selatan (Tangsel), hampir semua yang mendengarnya rada terkejut. Mereka justru bertanya: “Memangnya ada Batik Tangsel?”
Pertanyaan seperti ini tidak aneh. Maklum, siapa mengira, Tangsel yang pada 26 November ini genap berusia delapan tahun, punya motif batik etniknya sendiri. Okelah, batik dan motifnya bisa dikreasikan, tapi pertanyaannya kemudian, Tangsel yang secara geografis berbatasan langsung dengan ibukota Jakarta dan Kota Tangerang, punya motif khusus apa?
Rupanya, justru di sinilah tantangannya. Sejumlah pengrajin batik di Tangsel perlahan tapi pasti, terus melahirkan kearifan lokal untuk didapuk sebagai motif batik etnik kota yang dinakhodai Walikota Airin Rachmi Diany.
Salah seorang pengrajin batik etnik Tangsel adalah Nelty Fariza Kusmilianti, empunya usaha batik etnik dengan brand “Sekar Purnama” di Villa Bintaro Regency, Pondok Aren, Tangsel. “Motif batik etnik yang saya ciptakan jumlahnya sudah lebih dari seratus macam. Sebut saja misalnya motif Pesona Krakatau, Debus Jawara Banten, Kekayaan Flora, Mahkota Kerajaan Banten dan masih banyak lagi,” ujar Nelty kepada penulis di sela acara Batik Fashion Lunch bertajuk Batik Tangsel The Everlasting Heritage yang diselenggarakan Kamis, 13 Oktober kemarin, di Hotel Santika Premiere Bintaro, Tangsel.
Semua motif batik etnik Tangsel yang disebutkan Nelty, termasuk yang dikenakan dan ditampilkan oleh para model pria dan wanita yang sebagiannya merupakan karyawan hotel.
“Bersama Hotel Santika ini, saya dan teman-teman pengrajin busana batik etnik Tangsel, beserta pengrajin produk tas dan handycraft yang tentu saja menggunakan batik etnik Tangsel sebagai salah satu pilihan bahan bakunya, menyelenggarakan Batik Fashion Lunch ini untuk merayakan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober kemarin. Saya gemas, karena peringatan Hari Batik Nasional khususnya di Tangsel kurang semarak,” tutur Nelty.
Menurut Nelty, motif batik etnik Tangsel tidak memiliki motif secara khusus. Hanya saja memang, selalu diusahakan untuk mengangkat kearifan budaya lokal diantaranya dengan memilih ikon flora dan fauna. “Karena di Tangsel terkenal dengan budidaya Anggrek Ungu jenis Van Douglas yang harus sama-sama kita lestarikan,” ujar perempuan kelahiran Cianjur, 8 September 1962 ini.
Secara formal, motif batik etnik Tangsel belum ditetapkan melalui Peraturan Derah (Perda). Pun begitu, Nelty bersama pengrajin batik etnik Tangsel lainnya tak mau berpangku-tangan dan menunggu.
“Kami coba untuk mengangat potensi dan kearifan budaya lokal seperti misalnya Stasiun Sudimara di Jombang - Tangsel yang ternyata apabila dituangkan menjadi motif batik memiliki karisma yang luar biasa. Bahkan, ada juga motif Kacang Kulit Sangrai Keranggan. Seperti kita tahu, wilayah Keranggan, Kecamatan Setu, Tangsel, menjadi sentra produksi kacang kulit sangrai yang sangat masyhur,” tutur Nelty yang mengawali usaha kerajinan membatik sejak awal 2004.
Motif batik kacang kulit sangrai yang terinspirasi dari para pengrajin kacang sangrai di Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu, termasuk yang ditampilkan dalam kain batik Sekar Jagat.
“Namanya juga Sekar Jagat, maka seluruh ikon budaya yang mengangkat kearifan budaya lokal termuat juga didalamnya. Seperti misalnya, motif yang gambaran tanah-tanah subur di Tangsel, motif budidaya Anggrek, dan motif geometris Al Bantani yang terinspirasi dari tokoh Banten, Al Bantani. Selain itu, ada lagi motif khas peninggalan Kesultanan Banten, motif yang mencerminkan Bendungan Situ Gintung, dan kipas yang merupakan motif peninggalan Kesultanan Banten,” urai Nelty. “Semua motif batik etnik Tangsel ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah melekat di telinga juga mata para pemakai dan pecinta batik.”