“Wayang Indonesia ini abadi. Dulu, wayang hanya muncul di keraton, lalu menjadi tontonan rakyat. Kemudian diversifikasinya pun luar biasa, dari Pulau Jawa, Bali sampai Lombok. Sampai kemudian muncul Wayang Orang, Wayang Boneka, Wayang Golek, Wayang Kulit, Wayang Suket, Wayang Klitik dan masih banyak lagi. Jadi, aneka ragam wayang ini yang membuat Indonesia kaya, sehingga harus didaftarkan atau diapresiasi oleh kita sendiri. Kemudian, dunia melalui UNESCO, pada 7 November 2003, menetapkan wayang sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur atau Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity,” ujar Dwi Woro Retno Mastuti, dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Jawa, Universitas Indonesia ketika menjadi pembicara tunggal talkshow bertajuk ‘Wayang Menyeberang Zaman’.
Talkshow ini merupakan rangkaian acara Bank Central Asia (BCA) Gelar Wayang in Town dengan tema Journey in A Thousand Years, pada 17 – 18 November 2015 di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta..
Hingga tahun 2000-an, lanjut Woro, wayang di Indonesia berjumlah lebih dari 30 jenis. Semuanya tercatat di Senawangi atau Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. “Perkembangannya, saat ini wayang terbagi dua, klasik dan modern,” ujar Woro, sapaan akrabnya.
Selain sebagai dosen dan peneliti, Woro juga aktif dalam pewayangan, dengan mendirikan Sanggar Cinwa yang khusus mempertontonkan Wayang Potehi. Inilah wayang yang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Pada masa lampau, para perantau etnis Tionghoa membawa kesenian ini ke berbagai wilayah Nusantara. Sehingga akhirnya menjadi salah satu kesenian tradisional Indonesia. Potehi berasal dari kata Pou (kain), Te (kantong), dan Hi (wayang). Jadi, Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain, dimana sang dalang memasukkan tangannya ke dalam kain tersebut lalu memainkan bonekanya.
(Proses pembuatan boneka atau tokoh-tokoh pada Wayang Potehi | Foto: Facebook Dwi Woro Retno Mastuti)
Selama sepuluh tahun, Woro meneliti Wayang Potehi. Semua penelitian ini didedikasikan untuk juga berupaya melestarikan kesenian ini agar tidak punah. Memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi pada tahun kemarin, dunia Wayang Potehi di tanah air baru saja kehilangan sang dalang senior.
“Dari penelitian yang saya lakukan terkait Wayang Potehi, preservasi yang paling kuat ternyata justru ada di Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sedangkan di Semarang, adalah tempat bermukimnya mendiang Thio Tiong Gie, sang dalang Wayang Potehi paling senior yang meninggal dunia pada 20 Agustus 2014 di usia 81 tahun. Mendiang Thio ini adalah dalang peranakan tertua atau senior diantara dalang-dalang Wayang Potehi yang juga sudah meninggal dunia. Jadi sekarang, dari lima senior dalang Wayang Potehi, kini tinggal tiga dalang senior yang tersisa untuk melanjutkan eksistensi kesenian ini, yaitu Pak Subur, Pak Mujiono, dan Pak Parwanto. Semuanya ada di Gudo, Jombang,” prihatin Woro.
Menurut Woro, Wayang Potehi asal muasalnya dipergunakan sebagai bahagian dalam rangkaian ibadah ritual Agama Konghucu di Kelenteng. “Dengan kenyataan ini, saya yang berusaha untuk melestarikan Wayang Potehi jadi sedikit mengalami kendala. Karena, enggak mungkin kalau saya juga harus keluar masuk Kelenteng dan sebagainya. Akhirnya, saya berpikir untuk “dibalik” saja kondisinya. Maka saya kemudian mendirikan sanggar Wayang Potehi. Sedikit demi sedikit, saya kumpulkan boneka-boneka Wayang Potehi. Selain itu, saya juga mengajak para mahasiswa di kampus untuk bersama-sama melestarikan Wayang Potehi. Di sanggar, saya melakukan sedikit improvisasi. Misalnya, dalangnya tidak hanya satu orang, tapi bisa dua sampai empat orang. Selain itu, boneka Wayang Potehi tadi saya bariskan seperti yang biasa dilakukan para dalang pertunjukan Wayang Golek,” urainya.
(Boneka atau tokoh-tokoh Wayang Potehi yang ada di Potehi Rumah Topeng, Desa Mas Bali | Foto: Facebook Dwi Woro Retno Mastuti)
Sanggar Cinwa bentukan Woro yang beralamat di Griya Asri Depok, rupanya sudah banyak memenuhi undangan permintaan untuk pentas. “Misalnya di Kelenteng Boen Tek Bio - Tangerang, Mal Taman Anggrek – Jakarta Barat, di rumah-rumah jompo, di kampus-kampus, di sekolah-sekolah, di komunitas wayang dan masih banyak lagi. Dari setiap pementasan, pada bagian terakhir kami biasa melakukan interaksi dengan penonton untuk memberitahukan cara memegang dan memainkan boneka-boneka Wayang Potehi. Termasuk belajar untuk mengetahui bagaimana cara memainkan musiknya. Nah, dari interaksi ini ternyata kami dapat menyimpulkan bahwa antusiasme generasi muda terhadap Wayang Potehi cukup besar. Ini menggembirakan,” tutur Woro yang juga sudah menerbitkan sebuah buku eksklusif berjudul Wayang Potehi – Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia.
Dari literatur yang ada, beberapa lakon Wayang Potehi adalah bercerita tentang Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se), Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak dan Pnui Si Giok. Setiap boneka atau wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Koan Kong, Utti Kiong, dan Thia Kau Kim, yang warna mukanya tidak bisa berubah.