[caption id="attachment_419732" align="aligncenter" width="576" caption="Sri Eka Purmawanti (23) menjumput impian masa depan yang lebih baik dengan menjadi penjual kopi keliling di sekitar BSD City, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
Tangan terampil perempuan muda ini menarik satu sachet kopi dari gerobaknya. Sejurus kemudian, air panas mengepul tertuang dari termos. Menggunakan sendok kecil, jemarinya lincah mengaduk seduhan kopi. Aroma kopi berpendar, segar.
“Ini Pak, kopinya,” santunnya sembari menyerahkan gelas plastik berisi kopi hitam Nescafe Classic yang saya pesan.
“Terima kasih. Enggak dikasih gula ‘kan? Biar tetap Classic,” jawab saya.
Perempuan muda penjaja kopi ini menggelengkan kepala. Sembari tersenyum, ia berkata, “Enggak saya kasih gula, Pak”.
*****
Sosok perempuan muda penjual kopi itu empunya nama lengkap Sri Eka Purmawanti. Diantara sesama pedagang kaki lima, yang biasa mangkal di dekat pintu masuk Taman Kota I, BSD City, Kota Tangerang Selatan, ia biasa disapa dengan panggilan, Eka. “Karena saya (adalah) anak pertama, Pak. Makanya orangtua saya memberi nama, Eka,” ujarnya tanpa canggung.
Eka, sosok perempuan tangguh. Di usianya yang menginjak 23 tahun, Eka sudah cukup merasakan pahit getirnya hidup. Menjadi pekerja migran di Kuala Lumpur, Malaysia, pernah juga dijalaninya. “Di Malaysia itu saya bekerja di butik baju. Gaji saya sebulan 4.500 Ringgit. Enggak tahu deh, kalau dijadikan Rupiah, jadi berapa nilanya sekarang,” ujarnya polos.
[caption id="attachment_419733" align="aligncenter" width="576" caption="Eka siap berniaga. Dibalik secangkir kopi, ada harapan Eka untuk hidup lebih baik. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Awalnya, Eka penuh semangat untuk bekerja dan menatap masa depan di negeri orang. Tapi belakangan, hatinya luluh juga. Ia selalu teringat kedua orangtua dan rindu kampung halaman. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri. Pepatah itu akhirnya menimpa Eka. Hanya kurun waktu dua tahun, 2008 – 2010, Eka bertahan menjadi buruh di perusahaan butik milik seorang juragan kaya di Kuala Lumpur. “Cuma dua tahun bekerja di sana, akhirnya saya memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia. Selain karena memang sudah habis masa kontrak kerja, ternyata hati dan pikiran saya juga enggak bisa jauh-jauh dari keluarga,” akunya.
Keluarga Eka termasuk warga pendatang di Kota Tangsel. Kota hasil pemekaran Kabupaten Tangerang enam tahun lalu, yang memiliki luas 147,19 km2, dengan jumlah penduduk mencapai hampir 1,5 juta jiwa. Sembilan tahun sudah keluarga Eka meninggalkan tanah leluhur Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. “Sekarang, saya dan orangtua mengontrak rumah di daerah Serpong, tidak jauh dari Taman Kota I BSD ini. Biaya kontrak rumah, Rp 450 ribu sebulan,” ungkap Eka.
Persoalan ekonomi dan kesejahteraan hidup memang menjadi potret perjuangan tersendiri bagi Eka bersama keluarganya. Makanya tak aneh, kalau Eka pernah juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dalam bahasanya yang lugu, Eka coba mengartikulasikan kesulitan hidup dengan perjuangannya bekerja untuk mencari nafkah. “Pokoknya, saya bekerja apa saja. Asal halal dan yang penting bisa membantu menafkahi keluarga. Selain saya juga harus punya uang untuk disimpan. Biasanya uang simpanan itu saya belikan kalung atau cincin emas. Tapi, belum lama ini kalung emas saya copot dan hilang, padahal saya membelinya dengan harga hampir dua juta rupiah. Ya, sudah hilang, terus mau bagaimana apalagi? Saya ikhlas saja, semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik,” tuturnya dengan nada prihatin.
[caption id="attachment_419734" align="aligncenter" width="576" caption="Kedua kaki Eka menjadi penumpu utama beratnya sepeda motor berikut bebannya. Seolah simbol beratnya beban perjuangan hidup Eka membantu menafkahi keluarga. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Sepulang dari bekerja di Malaysia, Eka menikah dengan lelaki pujaannya, Riswan. Pemuda ngganteng asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini memang membuat Eka tak bisa pindah ke lain hati. Keduanya pun berjodoh. Pada November 2011, di hadapan penghulu dan para saksi, Riswan mengucap ijab qobul dan janji suci untuk hidup setia bersama Eka, istrinya. Dua tahun kemudian, lahirlah anak lelaki tercinta mereka. “Saya dan dan suami, beda usianya hanya dua tahun. Suami saya sekarang umurnya 25 tahun. Sekarang, saya sudah punya anak. Baru satu, Pak. Laki-laki. Umurnya baru dua tahun 3 bulan,” jelas Eka sembari tersenyum.
Sama dengan Eka, sang suami, Riswan juga seorang penjual kopi keliling. Malah sebenarnya, justru karena profesi Riswan inilah yang membuat Eka kepincut untuk juga ikut menjajakan kopi. Memang, tak hanya kopi yang dijajakan keduanya. Ada makanan kecil, rokok, dan aneka minuman sachet lainnya. Tapi, kopi adalah favorit. Dari hasil penjualan kopi, baik Riswan maupun Eka, sehari-harinya membawa pulang asa yang membuncah guna menatap hari depan yang lebih baik.
“Awalnya, saya tidak diizinkan suami untuk ikutan berjualan kopi seperti ini. Tapi saya tetap memaksa. Akhirnya, suami saya memberi izin dengan syarat, saya membiayai sendiri biaya modal untuk berjualan kopi. Bukannya apa-apa, saya juga mengerti kemampuan dan keterbatasan suami saya, kalau harus menyiapkan modal jualan kopi untuk saya. Akhirnya, saya mulai mencari uang, saya bekerja serabutan, menjadi tukang cuci, sampai pembantu rumah tangga, pokoknya asal bisa dapat uang, dan hasilnya ditabung untuk dijadikan modal jualan kopi seperti ini,” kisahnya.
[caption id="attachment_419736" align="aligncenter" width="576" caption="Eka, penjual kopi keliling yang biasa mangkal di sisi luar pintu masuk Taman Kota I, BSD. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Demi mewujudkan hasrat dirinya berjualan kopi, Eka rela merogoh kocek sebesar Rp 250 ribu untuk membeli gerobak kayu tempat menaruh kopi, termos, laci perangkat berjualan, dan laci uang. Belum lagi harus belanja beli termos, gelas plastik, kopi dengan aneka merek, dan jenis minuman sachet lainnya di toko grosir yang biasa menjual dengan harga lebih miring. Untuk semua biaya permodalan itu, Eka berhitung, uangnya sampai ludes sekitar Rp 1 juta.
Khusus untuk gerobak, yang dimiliki Eka bukan sembarang gerobak. Karena susunan papan-papan kayu ini tidak memiliki pikulan atau roda. Maklum, Eka meletakkan gerobak yang dimaksud, pada bagian belakang jok sepeda motornya. “Gerobaknya dibuatkan oleh kakak ipar saya sendiri. Kalau ke orang lain sih, kakak ipar saya menjual gerobak seperti ini dengan harga Rp 500 ribu. Sedangkan motor ini, saya ambil kredit. Ini baru sembilan bulan, dari 27 bulan yang harus saya lunasi. Saya cicil sekitar Rp 650 ribu setiap bulan. Alhamdulillah saya jualan pake motor, jadi mau bolak-balik ke rumah, nengok anak, atau ambil air panas, bisa cepat. Resikonya, ya musti nanggung uang bensin aja,” jelas Eka.
Setiap hari, Eka berjualan kopi. Ia tidak mengenal hari libur atau tanggal merah. Pokoknya, asal badan sehat, pasti ia sudah melajukan sepeda motornya menuju tempat mangkal jualannya. “Setiap pagi sampai sore, saya keliling jualan kopi. Dari rumah, biasanya setengah tujuh pagi. Pulangnya nanti sore, sekitar Maghrib saya sudah harus siap-siap pulang. Lokasi jualan sengaja saya pilih yang tidak jauh dari rumah. Alasannya, karena saya ninggal anak kecil di rumah. Anak saya diasuh oleh ibu saya. Selain itu, kalau air panas di termos ini sudah habis, ya saya bisa pulang dulu, untuk merebus air dan mengisi termos. Terus, balik jualan lagi,” tuturnya.
[caption id="attachment_419737" align="aligncenter" width="345" caption="Eka sedang menyeduh kopi pesanan pelanggannya. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Lokasi tempat biasa Eka berdagang hanya dua saja di BSD City ini, di sekitar gedung perkantoran dekat Kolam Renang Ocean Park, dan di seputaran depan pintu masuk Taman Kota I. “Kalau jualan kopi di perkantoran dekat kolam renang itu, biasanya saya incar waktu jam istirahat saja. Lumayan rame juga pembelinya, Pak, kalau sedang jam istirahat. Nah, kalau hari Sabtu dan Minggu seperti sekarang ini, saya jualan di luar area Taman Kota I ini. Rame juga kalau hari libur kayak hari Minggu begini. Karena, selalu banyak warga yang ingin berolahraga dan menikmati suasana santai di Taman Kota I ini,” katanya sembari melayani pesanan dua petugas parkir. Seorang memesan kopi susu, satu lagi minuman sari buah dengan diberi es batu. Cekatan sekali Eka meladeni. Dalam sekejap, kedua petugas parkir yang nampah kehausan sudah terasuki nikmat tegukan minuman masing-masing.
Melihat Eka menaiki sepeda motornya yang buatan Jepang dengan performa 110 cc, lengkap dengan boncengan gerobak jualan kopi, membuat hati saya sedikit trenyuh. Ketika Eka sempat memindahkan posisi parkir sepeda motornya, tak jauh dari tempatnya mangkal semula, saya melihat Eka agak keberatan, harus menahan beban berat sepeda motornya. Belum lagi, posisi berhenti sepeda motor harus berdiri tegak pada saat berhenti, membuat kedua kaki Eka terpaksa jadi tumpuan utama agar sepeda motor dan gerobaknya tidak sampai posisi miring, apalagi jatuh terguling. “Itu juga alasan kenapa saya belum berani berdagang ke lokasi yang jauh, seperti misalnya ke kawasan mewah Alam Sutera di BSD. Selain, karena memang saya belum punya SIM, dan baru akan mengurus SIM itu,” ujarnya.
Apa yang dilakukan Eka, untuk sebagian kita, mungkin sesuatu yang biasa. Tak jarang, kita mengacuhkan kehadiran penjual kopi seperti Eka. Barulah kehadiran Eka menjadi berkah, manakala rasa haus melanda. Atau, ketika kantuk dan letih mulai menerpa, sehingga mau tak mau, geliat tubuh butuh seduhan kopi agar kantuk dan lelah segera pergi. Kalau sudah begitu, berarti rezeki halal buat Eka. Rezeki yang dijemputnya dengan berkeliling menjajakan kopi tanpa kenal hujan maupun panas. “Kalau cuaca lagi hujan, saya biasanya tinggal membuka payung besar yang selalu saya bawa. Atau, berteduh bersama-sama orang lain, di mana saja tempatnya,” jelas Eka yang mengaku sudah biasa apabila harus berhadapan dengan patrol keamanan dalam wilayah BSD City yang mengusirnya berjualan dari tempat mangkal di sisi luar pintu masuk Taman Kota I BSD. “Pengusiran oleh patrol itu sudah biasa. Ya, saya biasanya akan pergi kalau mereka usir. Tapi enggak lama, setelah mobil patroli sudah pergi, ya saya balik lagi jualan kopi di sini. Pernah juga saya diusir sambil mau dilempar kursi oleh sesama penjual kopi lain yang marah karena saya mangkal di dekatnya berada”.
[caption id="attachment_419739" align="aligncenter" width="576" caption="Beginilah gerobak jualan kopi yang selalu setia dibonceng Eka. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Mau tahu, berapa Eka memperoleh penghasilan dalam satu hari? Nominalnya tidak sungkan Eka sebut, yaitu antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu dalam satu hari. Nilai tertinggi, atau Rp 200 ribu, biasanya Eka peroleh kalau penjualan mengalami booming. Tapi, kalau pesanan sedang sepi, hasil keuntungan bersih yang dibawa pulangnya bisa mencapai Rp 100 ribu. “Dalam sehari, saya bisa memperoleh uang antara Rp 300 sampai Rp 400 ribu. Nah, setelah saya belanjakan kopi, gelas plastik, air isi ulang, es batu, bensin, dan sebagainya, maka keuntungan bersih yang bisa saya bawa pulang, dan selalu saya simpan atau tabung adalah sebesar antara Rp 100 sampai Rp 200 ribu. Alhamdulillah, jadi ada untungnya,” ujar Eka tersipu.
Sebagai gambaran, setiap hari Eka harus melengkapi isi gerobak dagangannya. Mulai dari kopi beraneka merek dalam bentuk rencengan sachet. Eka membeli kopi dengan harga Rp 8.000 per renceng atau isi 10 sachet. Lalu, Eka juga harus berbelanja gula pasir, es batu, air isi ulang seharga Rp 4.000 per galon ukuran sedang, gelas plastik ukuran normal seharga Rp 5.000 per 50 cup, Rp 8.000 per 50 cup untuk ukuran yang sedikit lebih besar, rokok, dan makanan kecil lainnya. “Penjualan kopi hitam itu paling cepat dibandingkan dengan yang lainnya. Bisa-bisa, kopi hitam itu laku terjual hingga lima renceng atau 50 sachet,” tukas Eka sembari menyebut harga Rp 3.000 untuk segelas kopi yang dijualnya.
Begitulah Eka, perempuan muda penjual kopi keliling yang taft, tangguh di lingkar wilayah CSD City. Kota Satelit yang penuh gemerlap dan hampir meminggirkan kaum marginal seperti Eka. Berjualan kopi keliling, bagi Eka, merupakan wujud membantu mencari nafkah bagi kedua orangtua, anak lelaki dan keluarganya tercinta. Tak hanya itu, berjualan kopi juga terkadang dapat melepaskan pikiran-pikiran yang bunel atau berkecamuk dalam benak Eka. Pun begitu, Eka sadar, untuk momentum perjalanan waktu saat ini, ia dan keluarganya menaruh harap besar bagi masa depan, melalui bergelas-gelas seduhan kopi yang berhasil dijual.
[caption id="attachment_419740" align="aligncenter" width="576" caption="Eka sedikit bersusah-payah untuk parkir mundur akibat beban berat boncengan gerobak di sepeda motornya. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
[caption id="attachment_419744" align="aligncenter" width="576" caption="Dibalik secangkir kopi, pahamilah, selain cita rasa dan kenikmatan yang direguk, ada juga asa Eka disitu. (Foto: Gapey Sandy)"]
[/caption]
Tak salah, kalau judul tulisan ini: "Ada Asa Eka Diantara Seduhan Kopi". Ya, asa atau harapan Eka, untuk menyongsong hidup dan masa depan yang lebih baik, melalui seduhan-seduhan nikmat cita rasa kopi.
Jadi, dibalik secangkir kopi, pahamilah … ada asa Eka disitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H