Lihat ke Halaman Asli

Berbagi Pengalaman: ‘Menikmati‘ Layanan Kesehatan yang Dibiayai oleh Negara

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Berbagi pengalaman :

‘Menikmati‘ layanan kesehatan yang dibiayai oleh NEGARA.

Jaminan kesehatan bagi warga masyarakat untuk dapat pengobatan gratis di Negeri kita yang kaya raya ini (bukan lagi termasuk Negara miskin karena penghasilan per kapita-nya sudah mencapai 3500 US Dolar), ternyata sampai saat ini belum kita nikamti.Undang-undang mengenai Jaminan Sosial / Kesehatan memang telah disahkan melalui perdebatan yang alot, tetapi baru dijanjikan akan dilaksanakan nanti Tahun 2014. Dikatakan baru dijanjikan, karena memang tidak ada yang bisa menjamin akan benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah pada waktu itu, karena peraturan pelaksanaannya sampai hari ini belum ada satupun yang terbit.

Pengalaman anak dan menantu saya dinegeri orang baru-baru ini, yang mendapat layanan kesehatan ‘gratis’ karena dibiayai Negara, kiranya menarik untuk saya bagi kepada yang berminat.

Anak dan menantu saya sudah 20 bulan terakhir ini bermukim dan bekerja di Negara Australia dengan status sebagai ‘permanent resident’ yang menurut ketentuan disana berhak atas berbagai jaminan yang diberikan oleh Negara sebagaimana warga negara Australia, termasuk jaminan pelayanan kesehatan (health care).

Inilah pengalaman mereka ‘menikmati’ Layanan kesehatan, yang secara kronologis sebagai berikut:

·Menantu saya sebelum pindah ke Australia, telah mengalami gangguan penyakit, yang dirasakan sebagai gangguan pada lambung, sejak tahun 2002.

Untuk mengatasi penyakitnya, dia telah konsultasi dengan Dokter di kota S, Jawa Tengah, ditangani oleh Dokter Spesialis Penyakit dalam, Konsultan dibidang Pencernaan.

Pemeriksaan intensif dilakukan dengan endoskopi, untuk memastikan penyakitnya. Kesimpulan diagnose Dokter adalah GASTRITIS, dan kemudian diberikan obat yang diresepkan oleh Dokter Spesialis tersebut.

Namun pengobatan itu tidak juga mengurangi keluhan sakitnya, kemudian Dokter memberi pengantar rujukan ke Dokter di Jakarta.Kesimpulan Dokter di Jakarta juga kurang lebih sama, bahwa itu adalah penyakit pada lambung, dan diberi resep obat-obatnya. Sekali lagi obat ini juga tidak menjadikan lebih baik, sampai saatnya dia harus berangkat ke Australia mengikuti suaminya pada akhir 2010. Untungnya, keluhan rasa sakitnya tidak selalu terus menerus, tetapi sesekali datang dengan intensitas tinggi.

·Rasa sakit hebat tiba-tiba muncul pada suatu pagi 2 bulan lalu, yang kemudian dengan ambulans dibawa ke klinik di kota tempat mereka tinggal, sebuah ‘desa’ kecil ditepi pantai yang terletak 320 km dari kota Adelaide, dengan penduduk hanya lebih kurang 1000 orang.

Oleh Dokter disini, setelah diberikan pertolongan pertama, kemudian Dokter meminta segera dibawa ke rumah sakit dikota lain yang terletak +/- 120 km, untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut, karena Rumah sakit yang dirujuk peralatannya lebih lengkap.

Yang bagi saya ‘agak aneh’, ternyata yang mengantar ke rumah sakit rujukan adalah ambulans dari rumah sakit rujukan itu, yang ‘menjemput’ menantu saya, segera setelah diberi tahu ada pasien yang harus ditangani lebih lanjut.

Dari pemeriksaan lebih lanjut dengan USG dan beberapa tes lain, dicurigai ada aliran makanan yang terhambat di escofargus ( saluran makanan dari tenggorokan ke lambung ), sehingga hanya sedikit makanan yang masuk ke lambung, dan ada kalanya dapat menyumbat escofargus itu. Karena itu pemeriksaan diperlukan lebih lanjut lagi dengan endoscopi, yang harus dilakukan oleh Dokter Spesialis dibidang pencernaan dari Rumah sakit di Adelaide, yang mempunyai jadwal tertentu di kota itu.

Rumah sakit itu akan menelpon anak saya, setelah ada konfirmasi Dokter Spesialis yang dimaksud, dan disesuaikan dengan kesiapan waktu menantu saya untuk diperiksa.

Sebetulnya mereka minta hasil endoscopi di Indonesia, ketika anak saya mengatakan bahwa pernah di endoscopi, bahkan 2 kali di rumah sakit dikota S. Sayangnya, hasil endoscopi tidak diberikan oleh Dokter di tanah air yang memeriksa, dan ketika rumah sakit itu dihubungi oleh keluarga disini jawaban Rumah sakit :agar mencari sendiri di gudang arsip rumah sakit !

·Setelah dilakukan endoscopi, Dokter Spesialis yang memeriksa mengatakan bahwa ternyata benar ada penyempitan dibagian bawah escofargus, dan ini perlu dilakukan tindakan medis pembedahan untuk menormalkan saluran escofargus itu. Untuk itu, menantu saya akan dirujuk ke Dokter Spesialis Bedah Degestif, dan rumah sakit yang cukup perlengkapan untuk melakukan tindakan medis itu adanya di Adelaide.

Sekali lagi, anak saya disuruh menunggu telpon konfirmasi dari Dokter Spesialis Bedah Degestif itu, kapan waktunya untuk konsultasi, setelah Dokter itu menerima dan mempelajari hasil endoscopi dan catatan dari Dokter Spesialis Penyakit dalam itu.

·Pada pertemuan pertama kali dengan Dokter Spesialis Bedah Degestif di rumah sakit Pemerintah di Adelaide, diterangkan, bahwa kondisi penyempitan escofargus yang diderita menantu saya cukup langka dijumpai, dan tindakan medis pembedahannya tidaklah sederhana, untuk tidak disebut rumit, dan akan dilakukan dengan cara bedah minimal invasiv, yang tidak menimbulkan banyak perdarahan. Dokter Bedah itu menyebut penyakit penyempitan escofargus itu sebagai : ACCLASIA. Penyebabnya adalah virus yang belum diketahui, dan dapat diderita oleh orang disegala tingkat usia.

Ternyata apa yang dikatakan Dokter Spesialis bedah Degestif tentang tingkat kerumitan pembedahan itu rupanya benar, sebab ketika saat akan dilakukan tindakan medis itu pada Jum’at 25 Mei 2012 jam 12.00 lalu, menjelang pelaksanaan sebelum dilakukan pembiusan, menantu saya dikelilingi sekumpulan Dokter yang masing-masing mengenalkan dirinya, yaitu 6 orang (!) Dokter Spesialis Bedah, dan 4 orang Dokter spesialis Anestesi. Mereka terdiri dari multi ras, yaitu dari Australia, India, Malaysia dan 1 orang dari Perancis. Kalau menilik usianya, mereka bukan lagi Dokter Spesialis yang yunior. Sebagai Ketua Tim Dokter itu adalah yang dari Malaysia, seorang Wanita Dokter Spesialis Bedah Degestif.Tindakan medis pembedahan itu berlangsung selama lebih 4 jam, karena baru pada jam 17.00, pasien dibawa masuk ke bangsal perawatan, yang ruangnya kurang lebih 2 x 3m untuk tiap pasien, dan dibangsal itu sudah ada 3 orang pasien pasca operasi.

Selama diruangan perawatan itu, tiap setengah jam perawat menengok keadaannya, dan menanyakan berbagai keluhan yang mungkin dirasakan.

Bekas pembedahan itu hanya menimbulkan sayatan kecil di 5 tempat sekitar perut dan dada, yang telah ditutup dengan semacam plester.Pada hari Sabtu keesokan harinya jam 8 pagi, 5 orang Dokter Bedah yang melakukan operasi menengok kondisinya dan menanyakan segala sesuatu yang perlu disampaikan kepada Dokter.

Pada jam 11.00, Dokter yang menjadi Ketua Tim juga menengok dan menyatakan bahwa operasi telah berjalan dengan baik, dan menantu saya itu dari pemeriksaan yang mendalam, tidak ada tanda-tanda pernah mengalami Gastritis atau Gastroenteritis.

Yang masih harus diminum adalah obat penghilang rasa nyeri, sesuai dengan tingkat keluhan rasa sakitnya, tidak ada obat antibiotik. Sore harinya, pasien diminta untuk mulai berjalan dari ruangan satu ke ruangan lain.

Hari berikutnya, Minggu pagi hari , Tim Dokter kembali mengunjungi dan mengatakan bahwa siang hari nanti boleh pulang, dengan dibekali 2 strip obat penghilang rasa sakit yang berisi 20 tablet.

Itulah secara singkat, kronologis perjalanan menantu saya dirawat di Rumah sakit Pemerintah di Australia.

Salah satu hal yang mengesankan saya tentang pelayanan Dokter disana, bahwa pasien tidak perlu kesana kemari membawa surat rujukan bilamana diperlukan pemeriksaan Dokter lain, tetapi Para Dokter itulah yang langsung saling berhubungan lewat berbagai media, dan pasien tinggal tunggu telpon Dokter yang akan menghubungi, setelah Dokter yang dirujuk mendapat semua data pasien dari Dokter sebelumnya, dan membuat janji kapan pasien dapat datang.

Nah, berapa biaya yang harus dibayar anak saya untuk semua ‘kerepotan’ itu ?Setelah di rinci, sejak awal istrinya dibawa ke klinik di kotanya, biaya yang keluar adalah:60-37 Aus dollar = 23 Aus Dollar / Rp. 207.000,-- untuk pertolongan pertama di klinik swasta. 37 dollar adalah subsidi dari Pemerintah untuk pembayaran Dokter atau klinik non Pemerintah. Yang lainnya adalah 14,5 Aus Dollar / Rp. 130.500,-- untuk obat anti nyeri setelah keluar dari perawatan rumah sakit pasca operasi.

Sedangkan semua tindakan medis, mulai dari ambulans yang datang 10 menit setelah ditelpon, USG pertama, endoscopi, tindakan pembedahan dan konsultasi beberapa Dokter, tidak ada yang perlu dibayar sama sekali, karena ditanggung oleh Pemerintah Australia.Bahkan, karena berasal dari kota yang jauh dari Adelaide, biaya transport dan penginapan anak saya selama menunggu operasi, diganti oleh Pemerintah, yang jumlahnya kurang lebih sama dengan yang telah dibayarkan untuk bensin dan hotel.

Anak saya setiap pagi dan sore telpon dari Adelaide, ketika istrinya masuk ke rumah sakit, untuk menceriterakan perkembangannya.

Dilain hal, saat mengikuti perkembangan itu, saya baca berita di KOMPAS tentang korban yang tubuhnya terbakar lebih 50% di Sidoarjo karena jilatan api yang menyala dari bocoran gas akibat bencana lumpur Lapindo, yang semula dijanjikan Pemerintah daerah akan ditanggung pengobatannya, ternyata diharuskan keluar dari rumah sakit, padahal belum selesai pengobatannya, karena Pemerintah sudah tidak mau membiayai lagi. Pemerintah tidak salah, karena memang tidak ada aturan, bahwa Pemerintah harus menanggung pengobatan warganya

Di Australia, sebagai ‘permanent resident’ anak saya hanya berkewajiban membayar Pajak Penghasilan yang dipotong langsung sebesar 15 % dari gajinya, dan ketika memasukkan SPT Pajak, diminta menyertakan Nomor Rekening Bank-nya, karena dalam waktu 2 minggu setelah SPT masuk, bila ada kelebihan / restitusi pajak, Pemerintah langsung mengkreditkan kedalam rekening itu. Restitusi itu memang benar diterima tepat waktu, sebagaimana yang diterima pada tahun 2011.

Tidak ada premi asuransi kesehatan yang harus dibayar kepada Pemerintah, walaupun anak saya bukan termasuk keluarga miskin dan bukan warga negara Australia.

Batasan layanan kesehatan yang dapat diterima warga belum jelas, karena dengan kenyataan menantu saya mendapat pelayanan kesehatan yang demikian kompleks dan tentu mahal, tidak ada pengeluaran uang yang dibayarkan kepada Pemerintah.

Akankah pelayanan Jaminan Sosial / Kesehatan yang akan dinikmati Rakyat Indonesia akan demikian juga, marilah kita tunggu tahun 2014 nanti…..*****




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline