Lihat ke Halaman Asli

Gan Pradana

Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Agar Parpol Tidak Jadi Calo Politik dan Main Palak

Diperbarui: 19 Januari 2018   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Pengakuan La Nyalla Mattalitti bahwa ia dimintai mahar Rp 40 miliar saat akan mencalonkan diri menjadi gubernur Jawa Timur -- meskipun belakangan diralat -- tetap layak kita apresiasi.

Ya, layak kita apresiasi, sebab dari "nyanyiannya", kita akhirnya menjadi tahu bahwa mahar, iuran, uang saksi atau apa pun istilahnya dalam proses rekrutmen calon pemimpin di daerah, memang ada.

Informasi soal itu bukan hoaks, tapi realita. Saya punya teman yang pernah mencalonkan diri menjadi bupati Kebumen (Jateng) tapi kalah bertarung. Ia menghabiskan uang hingga Rp 2 miliar (kecil sih?), sebagian besar dipakai untuk uang mahar ke partai politik.

La Nyalla sendiri mengaku telah menyiapkan uang Rp 300 miliar guna menggapai mimpinya menjadi gubernur Jatim. Semoga La Nyalla tidak meralat angka itu dengan Rp 300 ribu setelah sebelumnya ia membatalkan pernyataannya dimintai mahar Rp 40 miliar.

Tapi, ya sudahlah, soal mahar politik kini tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak menampik bahwa untuk menjadi seorang gubernur misalnya, sang calon harus menyiapkan uang Rp 300 miliar -- ia menyebut angka ini sebagai paket hemat -- jika ingin diusung atau dicalonkan parpol ikut dalam kontestasi pilkada.

Tak punya uang sebanyak itu, ya wassalam. Jika sang calon kalah dalam hajatan pilkada, ya sama wassalam, karena ibarat parkir mobil di area parkir, pengelola tidak bertanggung jawab atas hilangnya barang-barang di dalam mobil. Dalam pilkada, uang mahar dijamin tidak kembali.

Jika memang faktanya seperti itu, mengapa banyak orang bernafsu menjadi kepala daerah? Apa motivasi mereka? Ingin berkuasa, ingin menjadi pemimpin, ingin mendapatkan uang, atau ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan negara?

Jika pertanyaan itu kita ajukan ke para calon, mereka pasti akan menjawab akan mengabdikan diri kepada bangsa dan negara (baca: melayani rakyat dan menyejahterakan mereka).

Namun, saya tetap tidak bisa mengerti alias gagal paham, mengapa dalam rangka mewujudkan niat mulia itu, para calon kepala daerah rela dipalak untuk memberikan mahar hingga puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah?

Benar, untuk mengikuti proses kontestasi pilkada memang diperlukan biaya yang tidak sedikit, seperti untuk kampanye, sosialisasi, saksi dan sebagainya.

Persoalannya, apakah solusi untuk itu harus berupa mahar? Tentu tidak, sebab setahu saya saat Jokowi dan Ahok mencalonkan diri masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2012, mereka tidak dimintai mahar. Gerindra ada di dalamnya karena partai inilah yang berinisiatif mengusung keduanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline