[caption caption="Pasangan Ahok-Heru. Foto: Muda Mudi Ahok"][Pasangan Ahok-Heru. Foto: Muda Mudi Ahok]
BERPERANG opini lewat media sosial (medsos) ternyata lebih mengasyikkan daripada berperang opini melalui media mainstream. Fakta dan fenomena inilah yang kini dimanfaatkan oleh para pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan “musuh” (lawan) Ahok. Kedua kubu sama-sama militan dalam rangka mencapai tujuan: Ahok klenger atau Ahok semakin berjaya dan mulus melangkah menuju DKI-1.
Pertarungan sendiri sesungguhnya baru dimulai Februari 2017 saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar Pilkada Serentak di Indonesia, salah satunya adalah pemilihan gubernur DKI Jakarta. Ahok sudah menyatakan akan maju kembali menjadi DKI-1 lewat jalur perseorangan. Anak-anak muda yang tergabung dalam Teman Ahok sampai sekarang masih terus meng-update data pengumpulan KTP dukungan. Mereka dibantu Muda Mudi Ahok yang dididirikan anak-anak muda Partai NasDem.
Sampai hari ini (Senin 14 Maret), KTP dukungan untuk Ahok telah mencapai 784.977. Saya tidak tahu, apakah jumlah sebanyak itu sudah termasuk dukungan yang diberikan untuk calon wakil gubernur Heru Budi Hartono. Informasi yang saya peroleh, booth Teman Ahok yang dibuka di sejumlah mal, dibanjiri warga DKI untuk memberikan KTP dukungan buat Ahok.
Yang pasti sejak Ahok naik daun, banyak lawan politik mantan bupati Belitung Timur itu yang kebakaran jenggot dan melakukan manuver dan aksi yang (maaf) tidak lazim. Ahmad Dhani yang disebut-sebut diusung PKB dan didukung Partai Gerindra beranjangsana ke Kalijodo, kawasan kumuh dan mesum yang waktu itu akan digusur Ahok.
Lawan tangguh harapan bangsa (?), Yusril Ihza Mahendra, pergi ke pasar mengenakan pakaian ala anak TK bergambar Mickey Mouse. Katanya sih untuk mengundang simpati publik. Siapa tahu pemilih Jakarta senang dengan sosok yang senang turun ke bawah saat ada hajatan pilkada.
Haji Lulung yang menurut pengakuannya adalah tokoh yang paling pantas menjadi gubernur Jakarta juga terus mengumbar pernyataan kontroversial. Satu di antaranya: “Saya akan mundur dari PPP jika DPP PPP mendukung Ahok dalam Pilkada Serentak 2017.”
Pernyataan dan aksi para tokoh itu memang jelas, namun yang tidak jelas, mereka bakal “nyalon” menjadi DKI-1 lewat jalur apa, numpang kendaraan partai politik atau melalui jalur perseorangan? Pasalnya, partai yang sebenarnya bisa bersolo karier mengajukan calon sendiri hanya PDIP yang punya 28 kursi di DPRD DKI Jakarta.
Namun, sayang sampai saat ini PDIP belum juga bersikap siapa tokoh yang akan diusung menjadi DKI-1 dan DKI-2. Petinggi partai ini bahkan sempat “sewot” dan “alergi” dengan Ahok setelah mengetahui Basuki “nyalon” lewat jalur perseorangan dan bermitra dengan Teman Ahok. Belakangan konco-konco Ahok malah dituding oleh PDI melakukan deparpolisasi. Gara-gara dipojokkan seperti ini, nama Ahok dan Teman Ahok malah semakin berkibar. PDIP blunder. Ini ibarat Goliath nantang berkelahi dengan David.
Maka lawan-lawan Ahok yang berprinsip Asal Bukan Ahok (ABA) pun menyerang kubu Ahok dengan (lagi-lagi) sentimen SARA: Ahok adalah Tionghoa dan Kristen yang haram hukumnya untuk dipilih menjadi pemimpin. Serangan ini begitu masif disuarakan lewat medsos.