[caption caption="Senjakala PDIP. Foto: metrotvnews.com"][Senjakala PDIP. Foto: Metrotvnews.com]
PENGUASA Orde Baru ketika masih berjaya pernah memberlakukan apa yang disebut dengan “massa mengambang”. Saya bagian dari massa mengambang tersebut yang memilih partai politik pada saat pemilu berdasarkan situasi dan kondisi.
Beberapa kali pemilu, saya memilih Golkar yang waktu itu alergi disebut partai. Setelah Orde Baru tumbang, saya giliran memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Sukarnoputri, perempuan yang oleh orang-orang dekatnya selalu diembel-embeli dengan “ibu”. Maklum kalau mereka tidak menyebut “ibu” -- apalagi tidak menurut -- bisa kualat atau tidak diberi tempat.
Saya memilih partai berlogo banteng bermoncong putih itu karena semangat kerakyatannya memang tinggi. Idealisme kebangsaannya lumayanlah dibandingkan partai-partai lain yang kalau terpojok mau kalah selalu memakai jurus “mabok” menjual ayat-ayat cinta (agama).
Ketika Pemilu 2014 digelar ada partai baru bernama NasDem. Ideologi partai ini boleh dibilang sama dengan PDIP. Sepertinya visinya pun demikian, sama. Oleh sebab itulah kedua partai ini kompak mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada Pilpres 2014.
Guna memenangkan Jokowi, PDIP dan Partai NasDem bahkan berkolaborasi membentuk media center bersama yang markasnya di Jl Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Di markas media center inilah, berbagai isu dan strategi komunikasi disiapkan dalam rangka pembentukan opini publik. Ujung-ujungnya Jokowi terpilih menjadi presiden.
NasDem bersedia bergabung dengan PDIP karena Jokowi adalah sosok calon presiden yang memang dikehendaki rakyat. Pilihan dan dukungan NasDem memang tidak sia-sia, terbukti Jokowi setelah menjadi presiden benar-benar pro-rakyat, sederhana dan berorientasi kerja, kerja dan kerja.
Sejak Jokowi terpilih menjadi presiden, tanpa disadari pola pikir rakyat sudah berubah. Ketokohan seseorang jauh lebih penting daripada sosok partai. Rakyat akan bersimpati kepada parpol jika parpol dan petingginya mau menganut prinsip “tut wuri handayani” (mengikuti dari belakang apa yang diharapkan rakyat).
Rakyat memilih Jokowi tempo hari bukan karena PDIP atau NasDem dan partai pendukung lainnya, tapi karena sosok Jokowi yang bersahaja dan dianggap representasi dari rakyat.
Cara rakyat memilih Jokowi rupanya berlanjut saat proses pilkada berlangsung. Rakyat di daerah memilih pemimpin tidak lagi melihat partai apa yang mengusung sang calon, tapi melihat siapa tokoh yang diusung. Terpilihnya Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) dan Risma Harini (Wali Kota Surabaya) dan masih banyak lagi adalah contoh konkret memilih pemimpin “model baru”.