Lihat ke Halaman Asli

Gan Pradana

Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Ketidakpuasan kepada Jokowi dan Peran Kadin ke Depan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUDAH enam bulan pemerintahan Jokowi bekerja. Namun, Kabinet Kerja yang dipimpinnya ternyata masih dinilai “belum bekerja” oleh sebagian anggota masyarakat, sehingga memunculkan ketidakpuasan di sana sini.

Ketidakpuasan masyarakat itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan Poltracking Indonesia. Lembaga survei yang dipimpin Hanta Yudha itu Minggu (19 April) merilis sebanyak 48,5 persen publik tidak puas kepada pemerintahan.

Angka sebesar 48,5 persen itu, menurut Hanta,  gabungan dari penilaian publik yang sangat tidak puas (5,8%) dan kurang puas (42,7%). Sementara penilaian masyarakat yang puas sebesar 44 persen, yaitu gabungan cukup puas (40,5%), dan sangat puas (3,5%). Tidak tahu/tidak menjawab (7,5%).

Berapa pun prosentase ketidakpuasan masyarakat (katakanlah cuma 20%), angka tetap berbicara. Pemerintahan Jokowi dan para menteri yang ada di Kabinet Kerja tetap harus introspeksi. Suara dan keluhan rakyat mesti didengar.

Belum lama berselang, seorang ibu rumah tangga di Semarang mengirimkan pesan lewat BBM kepada saya. Isinya keluh kesah seperti ini: “Gimana toh pemerintahan Jokowi, kok semuanya naik, mulai listrik, gas, bensin sampai kebutuhan sehari-hari? Ke mana-mana Jokowi nyebut-nyebut investasi terus, tapi kok nggak investornya nggak datang-datang?”

Apa pun suara rakyat, begitu Jokowi dilantik menjadi presiden dan Kabinet Kerja mulai bekerja, situasi di dalam dan luar negeri memang “tak mendukung” Jokowi. Harga minyak di pasar internasional naik turun dan berkonsekuensi, pemerintah harus menurunkan dan menaikkan harga BBM dengan tambahan konsekuensi pemerintahan Jokowi dinilai plin-plan.

Ekonomi negeri Paman Sam (AS) pun tiba-tiba menggeliat dan memberikan dampak tak enak buat rupiah. Nilai dolar pun mengikuti hukum alam dan terus “mengemplang” rupiah hingga nyaris tembus Rp 13.000 per dolar.

Dalam suasana seperti itu, di pengujung April ini, Indonesia menggelar hajatan akbar dan menjadi tuan rumah peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan Jakarta.

Menoleh ke belakang, saat KAA digelar untuk kali yang pertama pada 1955, anggota KAA hanya 29 negara. Dua negara di antaranya, China dan India telah melesat menjadi negara maju, sementara (maaf), Indonesia masih “belum apa-apa” dibanding kedua negara tersebut.

Saya tidak tahu persis, momentum peringatan 60 tahun KAA, telah dimanfaatkan Indonesia untuk apa saja? Selayaknya peringatan 60 tahun KAA yang menjadi cikal bakal Gerakan Nonblok itu dijadikan ajang untuk berjualan. Bukankah Jokowi sering mengatakan bahwa ke depan Indonesia harus banyak promosi dan jualan?

Tampaknya, peringatan 60 tahun KAA belum diarahkan secara maksimal ke sana. Lagi-lagi, peringatan 60 tahun KAA, hanya dijadikan momentum untuk memamerkan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis di percaturan politik internasional. Maaf, bukannya tidak penting, masalah yang dihadapi Palestina malah dijadikan agenda permanen dalam event akbar tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline