Lihat ke Halaman Asli

Gan Pradana

Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Meragukan Kebhinekaan Sang Capres

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PELAYANAN  Komunikasi Masyarakat (Yakoma) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jumat (20 Juni) lalu menggelar diskusi publik bertema “Menakar Capres-Cawapres 2014-2019 yang Pluralis.“ Visi kebhinekaan salah seorang capres dipertanyakan.

Berbicara di forum itu Cornelius D. Ronowijoyo, anggota Dewan Penasihat Kristen Indonesia Raya (KIRA), organisasi sayap Gerindra dan Victor Silaen, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan.

Diskusi yang digelar bersama JKLPK Indonesia, YMCA dan  PERUATI itu menjadi penting, sebab pilpres 2014 merupakan momen yang sangat penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan negara ini selama lima tahun ke depan.

Salah satu isu yang sangat penting bagi seorang calon presiden adalah jaminan terhadap penghargaan akan keberagaman sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pluralisme merupakan sebuah keniscayaan karena Indonesia dibangun di atas dasar keanekaragaman dan memiliki falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

Oleh karena itu bangsa yang majemuk ini juga sangat mengharapkan tampilnya sosok pemimpin yang menghargai perbedaan suku, agama, keyakinan, budaya, dan jenis kelamin. Persoalannya adakah capres yang siap untuk merawat keberagaman tersebut?

Cornelius Ronowijoyo mengatakan, siapa pun yang menjadi presiden nanti, kebinekaan Indonesia harus tetap terjaga. Begitu pula Kristen harus tetap bersatu. Kita tidak boleh menjadikan presiden terpilih nanti sebagai “tuhan“ baru.

Karena diskusi itu diselenggarakan oleh komunitas Kristen, Victor Silaen pun lantas menyinggung soal kebhinekaan Indonesia yang robek yang tercermin dari kasus berlarut-larut yang menimpa GKI Yasmin, Bogor.

Menurut Hashim Djojohadikusumo, Ketua Dewan Pembina KIRA dan Ketua Umum KIRA Murphy Hutagalung, jika Prabowo nanti menjadi presiden, GKI Yasmin pasti akan dibuka.

Victor Silaen mempertanyakan, mengapa harus menunggu Prabowo menjadi presiden? Apakah jika Prabowo gagal memenangi Pilpres lantas masalah GKI Yasmin tak akan pernah selesai?

Menurut Victor, pemikiran atau logika seperti itu perlu dikritisi. Sebab sesungguhnya masalah ini tak terkait langsung dengan sosok calon presiden, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo. Padahal dalam kasus itu, demikian Victor, sebenarnya solusinya sangat mudah, yakni laksanakan putusan hukum Mahkamah Agung (MA) secara konsisten dan konsekuen.

Hal itu juga yang pernah dikatakan Ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa, 17 November 2011.  Menurut Harifin saat itu, Wali Kota Bogor harus melaksanakan putusan MA terkait kisruh GKI Yasmin tanpa syarat. Harifin menilai langkah Wali Kota Diani Budiarto yang menawarkan relokasi tempat baru tidaklah tepat. “Relokasi harus dengan persetujuan umat GKI Yasmin,” tegasnya.

Seperti diketahui, Wali Kota Bogor Diani Budiarto -- yang bersangkutan pada 7 April 2014 sudah resmi diganti oleh Bima Arya -- selama ini bersikeras menolak mematuhi putusan MA No. 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 yang menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemkot Bogor berkenaan dengan Keabsahan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin, Bogor.

Putusan MA tersebut menyatakan bahwa perizinan GKI Yasmin adalah sah. Namun, Diani Budiarto menolak untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Bahkan, ia mencabut secara permanen IMB GKI yang terletak di Perumahan Taman Yasmin itu melalui SK Wali Kota Bogor Nomor 645.45-137 tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011.

Sikap keras Wali Kota Bogor yang melarang jemaat GKI Yasmin beribadah sejak 2008 itu membuat pihak GKI mengajukan surat kepada MA pertanggal 26 Maret 2011 untuk menanyakan pandangan MA tentang sikap Diani Budiarto selaku Wali Kota Bogor.

Menjawab surat permohonan fatwa tersebut, melalui surat bernomor 45/Td.TUN/VI/2011 per tanggal 1 Juni 2011 perihal Permohonan Fatwa, MA menyampaikan bahwa pengujian terhadap Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-OTKP perihal pembekuan izin tertanggal 14 Februari 2008 telah berpuncak pada Putusan MA Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 10 Desember 2010.

Putusan tersebut merupakan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan dapat dilaksanakan. Bagian kedua yang penting dari jawaban MA adalah demi terwujudnya asas keadilan dan kepastian hukum, maka kepada para pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kebijakan Wali Kota Diani Budiarto juga tidak sejalan dengan perintah Ombudsman RI yang meminta agar surat keputusan pencabutan IMB itu ditarik kembali. Karena rekomendasi tersebut tidak dijalankan, akhirnya Ombudsman pun melaporkan kasus ini kepada Presiden SBY dan DPR. Tetapi, DPR dan pemerintah juga tak bisa memberikan solusi konkret yang sesuai dengan putusan MA.

Pada 16 Desember 2011, di kediamannya Cikeas, Presiden SBY berjanji di hadapan para pemimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menemuinya bahwa ia siap turun tangan langsung jika para bawahannya di kabinet tak mampu mengatasi masalah GKI Yasmin. Tapi, apa yang terjadi? Tak lama setelah itu, melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, SBY mengatakan bahwa dirinya tak mungkin mengintervensi kasus GKI Yasmin karena terhalang oleh UU Otonomi Daerah.

Pada 7 April lalu, Diani Budiarto sebagai Wali Kota Bogor resmi diganti oleh Bima Arya, kader Partai Amanat Nasional (PAN). Tapi terkait masalah GKI Yasmin, hingga kini ia belum berbuat apa-apa.

Menurut Bima, ketika ditemui perwakilan GKI Yasmin usai dirinya dilantik, ia masih harus mempelajari kasus tersebut. Pertanyaannya, butuh waktu berapa lamakah untuk memahami kasus ini? Sebenarnya punyakah ia good will dan political will untuk itu?

Kembali pada pernyataan pihak KIRA, sebenarnya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin bukanlah sosok Prabowo sebagai presiden baru, melainkan kesediaan seorang wali kota untuk taat kepada hukum dan tunduk pada putusan MA. Sebab, urusan rumah ibadah secara hukum menjadi tanggung jawab kepala daerah. Maka dalam rangka mengeksekusi putusan MA itu, Wali Kota Bima Arya bisa bekerja sama dengan Kapolres Bogor untuk mengamankannya.

Akan halnya KIRA sebagai organisasi sayap Gerindra, mestinya mulai dari sekarang giat melakukan pendekatan demi mendorong Wali Kota Bima Arya melakukan hal itu. Sebab, bukankah PAN ada di barisan koalisi yang mendukung Prabowo sebagai capres?

Kalau Prabowo dan pendukungnya tidak berani, lalu di mana “ketegasan” capres nomor 1 yang dibangga-banggakan itu?[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline