Lihat ke Halaman Asli

Gan Pradana

Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Suara Langit (Mestakung) Rela Jokowi Dizolimi

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENZOLIMAN yang begitu masif mengarah ke Jokowi hingga hari ini (Rabu2 Juli 2014) juga merupakan wujud semesta mendukung (mestakung) Jokowi. Anda mungkin bertanya, lho, bukankah itu bertentangan dengan apa yang saya tulis dalam catatan saya sebelumnya di kolom ini? Sabar, saya akan tunjukkan apa, bagaimana dan mengapa suara langit mestakung rela Jokowi terus dizolimi.

Mestakung berkaitan dengan hukum alam. Ketika manusia merusak alam, hutan misalnya, ia tidak memberontak atau melawan. Tapi mestakung-lah yang berpihak ke hutan dan melakukan “pembelaan” dengan mendatangkan banjir, dan manusia yang merusak yang kemudian menjadi korban atas ulahnya sendiri.

Meskipun diserang dengan kampanye jahat (hitam), difitnah, bahkan dicap sebagai manusia sinting oleh Fahri Hamzah, anggota tim sukses Prabowo-Hatta (Prahara) yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengklaim sebagai partai Islami dan beradab, marahkah Jokowi? Membalaskah Jokowi? Tidak!

Hukum alam (semesta) datang dengan sendirinya menghampiri Jokowi, dan “alam” membisikkan kepada para santri untuk bereaksi dan melawan Fahri Hamzah. Selain para relawan yang jumlahnya jutaan itu, para santri berbaris rapat melakukan pembelaan kepada Jokowi. Tanpa perintah, tanpa komando, para santri langsung mendukung Jokowi.

Mari kita lihat sikap Partai Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali menegaskan bahwa partainya akan bersikap netral dalam pilpres 2014. Namun, seperti yang sudah diduga banyak orang, SBY melalui Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan, Senin (30 Juni) mengumumkan bahwa para kader partai dan organisasi sayap Partai Demokrat diinstruksikan agar mendukung dan memilih pasangan Prahara.

Coba perhatikan, bukankah itu bukti “teori alam” yang menyebutkan bahwa kelompok atau komunitas yang di dalamnya bercokol (maaf) orang-orang bermasalah cenderung akan merapat ke kelompok orang yang juga bermasalah?

Konkretnya, partai bermasalah akan bergabung ke koalisi partai bermasalah. Jadi benar apa yang dikatakan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari Dwipayana bahwa dukungan Partai Demokrat ke kubu Prahara merupakan perwujudan dari koalisi oligarki elite politik, sementara di pihak Jokowi adalah koalisi rakyat (people power). Mari kita tunggu, mestakung akan berpihak ke mana.

Sah dan sempurna sudah bahwa pendukung Prabowo adalah sekumpulan partai bermasalah karena di dalamnya memang ada oligarki para elite politik yang tersangkut banyak kasus korupsi. Sekadar mengingatkan bahwa Prahara didukung oleh partai:

1.PPP yang ketua umumnya Surya Dharma Ali menjadi tersangka kasus korupsi dana haji. Bayangkan uang para tamu Allah disikat.

2.Golkar yang ketua umumnya Aburizal Bakrie tidak pernah membereskan kasus lumpur Sidoarjo (Lapindo) dan membuat warga di kota itu melarat. Kader-kadernya juga terlibat dalam kasus korupsi Alquran dan mafia hukum (ingat Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi dihukum seumur hidup).

3.Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bekas ketua umumnya terlibat dalam kasus korupsi impor daging sapi yang membuat harga daging sapi di Indonesia tinggi. Kadernya yang kini duduk sebagai petinggi di Kementerian Pertanian juga mempermainkan harga pupuk, bibit dan sebagainya sehingga membuat para petani semakin miskin.

4.Partai Bulan Bintang (PBB) yang ketua umumnya MS Kaban berharap-harap cemas akan menjadi tersangka KPK karena diduga terlibat dalam kasus radio komunikasi di Kementerian Kehutanan.

5.Partai Amanat Nasional (PAN) yang ketua umumnya, Hatta Rajasa diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan gerbong kereta api, dan menjadi broker migas yang membuat harga BBM tinggi. Disebut-sebut, si broker migas setiap hari dapat Rp 25 miliar.

6.Partai Demokrat yang para kadernya terlibat berbagai kasus korupsi. Sebagian dari mereka sudah dipenjara, dan masih menyisakan kasus besar yang sampai sekarang belum terungkap, yaitu kasus bailout Bank Century.

Khusus menyangkut poin 6. Kasus Century itulah yang mendorong dan melatarbelakangi mengapa Partai Demokrat yang katanya netral itu akhirnya mendukung Prahara. Berlabuh ke Prahara tentu lebih aman daripada bernaung dan mendukung Jokowi yang pasti akan membongkar dan menuntaskan kasus Century kelak jika ia terpilih menjadi presiden.

Maka saya bisa memahami  jika Akbar Faisal, jubir Jokowi-JK menyimpulkan SBY  oportunis. Dukungan ke Prahara membuktikan bahwa Partai Demokrat (PD) dan SBY khawatir akan lahirnya pemerintahan yang bersih dan tegas sebagaimana dijanjikan Jokowi-JK.

Kasus Century tidak selesai sejak terungkap tahun 2009 lalu atau beberapa bulan setelah SBY terpilih sebagai presiden. Dukungan PD dan SBY kepada Prabowo- Hatta jelas tidak gratis. Dengan melihat posisi Hatta Rajasa sebagai ketua tim sukses SBY-Boediono pada pilpres 2009 lalu serta posisi sebagai besan dan anggota kabinet pemerintahan SBY saat ini, dapat dipastikan kasus Century akan semakin tenggelam dan tak akan terungkap. Padahal kasus ini adalah utang politik dan hukum terbesar pemerintahan SBY-Boediono.

Dengan bergabungnya Demokrat ke kubu Prahara, maka secara resmi mereka berhadap-hadapan dengan kekuatan rakyat yang diwakili Jokowi-Jusuf Kalla. Kita tunggu mestakung akan berpihak ke mana.

Dukungan Demokrat kepada Prahara tentu dikandung maksud agar perolehan suara atau elektabilitas Prahara melambung. Tapi fakta di lapangan membuktikan berbeda. Banyak orang-orang Demokrat yang membelot dan berbalik 180 derajat mendukung Jokowi. Diawali Ruhut Sitompul, menyusul kemudian Hayono Isman, dan Nova Riyanti Yusuf. Kemarin (1/7) dua organisasi sayap Partai Gerindra, yaitu Kristen Indonesia Raya (KIRA) dan Persatuan Tionghoa Indonesia Raya (PETIR) mendeklarasikan dukungannya ke pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Entah, ini gejala apa, para pendukung Jokowi saya perhatikan betul-betul militan. Info paling gres, para seniman kemarin sore berkumpul di TIM Jakarta guna mendeklarasikan bahwa mereka akan mendukung Jokowi, padahal sore itu posisi Jokowi masih di Cilegon, Banten. Ditunggu-tunggu hingga pukul 24.00, Jokowi belum juga datang. Mereka tak beranjak pergi dan terus menunggu hingga pukul 01.00 dinihari tadi.

Tapi di luar itu, Jokowi terus dizolimi lewat jalur kekuasaan. Kasus selebaran gelap Obor Rakyat yang sudah dilaporkan ke Mabes Polri praktis tidak ada tindak lanjutnya, padahal para tersangka sudah ada di depan mata dan melibatkan orang Istana Presiden. Koran Media Indonesia sudah melakukan investigasi dan menemukan fakta bahwa ada broker migas yang dekat dengan Hatta Rajasa yang membiayai penerbitan Obor Rakyat. Tersebut pula nama Muchlis Hasjim Yahya yang mencetak tabloid tersebut. Lagi-lagi pihak yang berwenang menganggap itu hanya wacana.

Di Kalimantan Timur terbit pula selebaran gelap serupa bernama “Martabat” yang isinya sama-sama tak bermartabat. Lagi-lagi polisi tak bertindak seolah kampanye dengan cara menjijikkan seperti itu sebagai hal yang sangat biasa dalam hajatan pilpres. Jokowi dan timnya tampaknya terus menganut paham: “Aku ra popo (aku tidak apa-apa, kok).”

Kemungkinan mestakung juga mengharapkan demikian, karena pembalasan adalah hakku. Kita tunggu apa yang akan terjadi.

Di penjuru kota Jakarta, Jokowi juga terus dibully lewat spanduk yang bunyinya sangat menyakitkan hati Jokowi, seperti “Jokowi Tersangka Korupsi Transjakarta”; “Jokowi Tetap Gubernur, Jakarta Bangkit”; ada pula spanduk yang berisi tulisan: “Revolusi Mental = Komunis/PKI.” Bahkan ada spanduk yang berisi fitnah terhadap ibunda Jokowi yang disebut sebagai anggota Gerwani (ormas PKI).

Sampai sedemikian jauh, pihak Jokowi hanya diam tak melakukan serangan balasn, paling cuma memberikan pernyataan melalui pers bahwa penzoliman terhadap Jokowi makin masif.

Sampai kapan penghinaan terhadap Jokowi akan berakhir? Bulan Ramadan yang suci rupanya tak berpengaruh bagi lawan Jokowi. Mungkin mereka menunggu Idul Fitri yang memberikan peluang untuk berucap: “Mohon maaf lahir dan batin.”

Para pendukung Jokowi yang tidak rela calon pemimpinnya dizolimi hanya bisa melakukan pembelaan lewat cara-cara santun dan elegan dengan mengirim surat terbuka, seperti yang dilakukan Dian Paramita. Silakan baca suratnya di sini: http://www.dianparamita.com/blog/surat-terbuka-untuk-tasniem-fauzia.

Atau seperti yang dilakukan seorang doden Universitas Airlangga Pribadi Kusman yang menulis surat terbuka kepada Prabowo seperti ini: http://www.merdeka.com/peristiwa/dosen-unair-tulis-surat-terbuka-untuk-prabowo.html.

Jika Anda pendukung Prabowo-Hatta, saya sarankan sebaiknya Anda tidak membaca link-link surat di atas, selain melelahkan, karena lumayan panjang, saya khawatir pikiran dan perasaan (hati) Anda juga akan lelah, kecuali kalau Anda mau mendengar bisikan suara hati Anda yang paling dalam. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline